Y.M MAHASTHAVIRA ASHIN JINARAKKHITA
(1923-2002)
SEJARAH SINGKAT
Y.M. Ashin Jinarakkhita Mahasthavira, yang lahir di kota Bogor,
23 Januari 1923, wafat 18 April 2002 di Rumah Sakit Pluit Jakarta dalam usia
80 tahun,disemayamkan di Vihara Ekayana Jl. Mangga II, Tanjung Duren, Jakarta
barat, diperabukan di krematorium Yayasan Bodhisattva, Lempasing, Bandar
Lampung.
Y.M. Ashin Jinarakkhita Mahasthavira dengan nama The Boan An,
bagaikan mengikuti perjalanan waktu menelusuri sejarah perkembangan agama
Buddha di Indonesia. Sang PELOPOR KEBANGKITAN AGAMA BUDDHA di INDONESIA, itulah
julukan yang disandangnya.
Y.M. Ashin Jinarakkhita Mahasthavira diusulkan Penerima Anugerah
Bintang Maha Putra oleh Menteri Agama, Prof Dr Said Agil Al Munawar.
Abu jenazah Y.M. Ashin Jinarakkhita Mahasthavira dibawa pulang
ke tanah Jawa dan disemayamkan di Vihara Sakyawanaram Pacet, Jawa Barat, tempat
selama ini Bhante Ashin bermukim. Di sana pula akan dibangun sebuah Aula yang akan
diberi nama Ashin Jinarakkhita Graha oleh Majelis Buddhayana Indonesia (MBI).
Bhante Ashin, demikian panggilan umat Buddha yang ditujukan
kepada Yang Mulia Maha Nayaka Sthavira Ashin Jinarakkhita. Beliau menyelesaikan
sekolah dasarnya di Kota Kembang – Bogor, lalu melanjutkan sekolah menengahnya
di PHS Jakarta, kemudian HBS B di Jakarta. Beliau melanjutkan pendidikan
tingginya di THS Bandung (sekarang ITB) pada jurusan Ilmu Pasti Alam. Beliau
tidak sempat menamatkan pendidikannya di THS karena perkuliahan dihentikan
ketika Jepang masuk ke Indonesia. Pada awal tahun 1946, beliau meneruskan
pendidikannya di Belanda sebagai pelajar pekerja. Di Belanda beliau kuliah di
Fakulteit Wis en Naturkunde pada Universiteit Gronigen. Beliau mendalami Ilmu
Kimia yang memang menjadi pelajaran favoritnya.
Semasa kecil beliau hidup prihatin. Untuk membantu meringankan
beban kedua orang tuanya beliau bekerja sebagai loper. Walaupun demikian jiwa
sosialnya sudah terlihat, ia sering membagikan makanan kecil yang dibeli dari hasil
jerih payahnya kepada teman-teman sepermainannya.
Ketika masih berusia belasan tahun, beliau sudah menjadi seorang
vegetarian. Beliau juga tertarik pada dunia spiritual, beliau sering belajar
kepada para suhu di kelenteng-kelenteng, haji, pastur, dan tokoh-tokoh teosofi.
Beliau mengenal agama Buddha dari tokoh-tokoh Teosofi dan dari perkumpulan Tiga
Ajaran.
Filsafat modern maupun kuno sudah menjadi makanan
sehari-harinya. Jika anak-anak lainnya senang bermain-main, Bo An, demikian
nama kecil beliau, lebih suka mengembangkan kehidupan batinnya, misalnya dengan
bertapa di Gunung Gede. Ketika menjelang dewasa beliau aktif dalam usaha
pemberantasan buta huruf dan ikut dalam kegiatan dapur umum untuk menolong
rakyat sekitar yang kelaparan.
Ketika di negeri Belanda beliau juga mengikuti kuliah filsafat,
belajar bahasa Pali dan Sansekerta, dan mendalami ilmu kebatinan. Di negeri
Belanda ini pula minatnya pada Buddha Dharma semakin kuat, sehingga sebelum
menyelesaikan pendidikannya beliau memutuskan untuk mengabdikan diri sepenuhnya
kepada Buddha Dharma. Sekembalinya ke Indonesia, beliau menjadi seorang
Anagarika. Semasa menjadi Anagarika ini, beliau sudah aktif menyebarkan agama
Buddha walaupun hanya terbatas di perkumpulan Teosofi dan Tiga Ajaran.
Ketika menjadi Anagarika ini, beliau mencetuskan ide brelian
untuk menyelenggarakan upacara Tri Suci Waisak secara nasional di Candi
Borobudur. Akhirnya pada tanggal 22 Mei 1953 acara tersebut berhasil
dilaksanakan. Upacara ini mendapat sambutan yang hangat dari berbagai kalangan.
Inilah satu momen penting tanda kebangkitan agama Buddha di Indonesia.
Masyarakat mulai meyadari bahwa agama Buddha dan penganutnya masih ada di
Indonesia.
Beliau mendalami Dharma dari seorang mahabhiksu yang berdiam di
Vihara Kong Hoa Sie. Pada bulan Juli 1953, beliau ditahbiskan menjadi seorang
sramanera dengan nama Ti Chen. Penahbisan tersebut dilakukan menurut tradisi
Mahayana di bawah bimbingan Y.A. Sanghanata Arya Mulya Mahabhiksu (Pen Ching
Lau Ho Sang).
Atas anjuran guru yang pertama ini untuk mendalami Dharma di
luar negeri, beliau pergi belajar ke Burma. Selama beberapa bulan beliau
menjalani vipassana di Pusat Latihan Meditasi Mahasi Sasana Yeikhta, Rangoon.
Dalam waktu kurang dari sebulan, beliau mendapat kemajuan yang amat pesat. Beliau
mendapat bimbingan khusus dari Y.A. U Nyanuttara Sayadaw. Pada tanggal 23
Januari 1954 Sramanera Ti Chen ditahbiskan sekali lagi menjadi seorang
sramanera menurut tradisi Theravada, dan pada sore harinya diupasampada menjadi
seorang bhikkhu. Y.A. Agga Maha Pandita U Ashin Sobhana Mahathera, atau yang
lebih terkenal dengan nama Mahasi Sayadaw menjadi guru spiritual utamanya
(Upajjhaya). Gurunya pula yang memberi nama Jinarakkhita. Kata Ashin sendiri
merupakan gelar yang diterimanya sebagai seorang bhikkhu yang patut dihormati
secara khusus. Beliau tinggal di Burma selama beberapa saat untuk lebih
mendalami Dharma dan meditasinya.
Pada tanggal 17 Januari 1955 beliau pulang ke Indonesia.
Kembalinya beliau ke Indonesia membawa kegairahan tersendiri bagi simpatisan
Buddhis di Indonesia. Beliaulah putra pertama Indonesia yang menjadi bhikkhu
sejak keruntuhan Kerajaan Majapahit. Di Jakarta beliau tidak berdiam diri.
Beliau segera merencanakan untuk mengadakan tour Dharma ke berbagai daerah di
Indonesia.
Akhir tahun 1955 dimulai tour Dharma ke pelosok-pelosok tanah
air. Beliau memulainya dari daerah Jawa Barat. Dalam perjalanannya itu beliau
mengunjungi setiap daerah yang ada penganut agama Buddha-nya, tidak peduli di
kota-kota besar maupun di desa-desa terpencil. Kunjungan beliau memberi arti
tersendiri bagai umat Buddha Indonesia di berbagai daerah yang baru pertama
kali melihat sosok seorang bhikkhu. Tour Dharma ini tidak terbatas di Pula Jawa
saja. Bali, Sulawesi, Sumatera, Kalimantan, dan pulau-pulau lainnya juga beliau
kunjungi. Pendek kata, hutan diterobosnya, gunung didaki, laut diseberangi,
untuk membabarkan Dharma yang maha mulia ini kepada siapa saja yang
membutuhkannya.
Setelah semakin banyak umat Buddha, dan semakin banyak murid
beliau yang ditahbiskan menjadi upasaka, Bhante Ashin mendirikan Persaudaraan
Upasaka-Upasika Indonesia (PUUI), pada bulan Juli 1955 di Semarang. Pada tahun
1979 PUUI berganti nama menjadi Majelis Buddhayana Indonesia.
Dalam setiap kesempatan berkunjung ke berbagai daerah tersebut
Bhante Ashin selalu mengingatkan umatnya untuk tidak bertindak masa bodoh
terhadap kebudayaan dan ajaran agama Buddha yang sudah sejak dulu ada di
Indonesia. Galilah yang lama, sesuaikan dengan jaman dan lingkungan. Beliau
menegaskan bahwa usaha mengembangkan agama Buddha tidak dapat lepas dari upaya
untuk meningkatkan taraf hidup bangsa Indonesia secara keseluruhan. Beliau
mendorong umatnya untuk terus menggali warisan ajaran Buddha yang tertanam di
Indonesia. Karena bagaimanapun, secara kultural ajaran yang pernah membawa
bangsa kita pada jaman keemasan Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit itulah yang
akan lebih bisa diterima oleh bangsa kita sendiri.
Salah satu hasil penggalian yang sangat penting adalah konsep
Ketuhanan dalam agama Buddha yang dianut oleh nenek moyang Bangsa Indonesia.
Dari berbagai penelitian terhadap naskah-naskah kuno dalam Kitab Sanghyang
Kamahayanikan, oleh para cendikiawan Buddhis Indonesia kala itu, yang merupakan
murid-murid Bhante Ashin, akhirnya istilah Sanghyang Adi Buddha dinyatakan
sebagai sebutan Tuhan dalam agama Buddha khas Indonesia. Doktrin inilah yang
sejak saat itu giat disebarkan oleh murid-murid Bhante Ashin, diantaranya Alm
Y.A. Bhikkhu Girirakkhito Mahathera, Herman S. Endro Dharmaviriya, Dicky
Soemani, Karbono, dan sebagainya. Namun sayangnya ada beberapa diantara mereka
yang akhirnya malah menentang dokrin Sanghyang Adi Buddha ini.
Sikap yang terus konsisten pada diri Bhante Ashin ialah beliau
tidak pernah berpihak kepada salah satu mazhab/sekte manapun dalam agama
Buddha. Disamping menyebarkan ajaran Theravada, beliau juga tidak meninggalkan
ajaran Mahayana dan Tantrayana. Semua diserahkan kepada pribadi masing-masing
umatnya. “I am just a servant of the Buddha”, ujarnya suatu saat kepada Y.A.
Dalai Lama.
Salah satu murid beliau yang bernama Ong Tiang Biauw ditahbiskan
menjadi samanera dan akhirnya menjadi Bhikkhu Jinaputta. Setelah jumlah bhikkhu
di Indonesia mencapai lima orang, Bhante Ashin kemudian mendirikan Sangha Suci
Indonesia. Pada tahun 1963, organisasi ini kemudian diubah namanya menjadi Maha
Sangha Indonesia. Namun tanggal 12 Januari 1972, lima orang Bhikkhu yang
sebenarnya adalah murid beliau sendiri, yang menganggap bahwa hanya ajaran
Theravada saja yang benar, memisahkan diri dari Maha Sangha Indonesia dan
mendirikan Sangha Indonesia. Walaupun kemudian sempat bersatu kembali, dan Maha
Sangha Indonesia dan diubah namanya menjadi Sangha Agung Indonesia (Sagin),
para Bhikkhu itu kembali memisahkan diri dari Sangha Agung Indonesia dan
mendirikan Sangha Theravada Indonesia.
Tahun 1978, murid beliau yang lebih berorientasi ke aliran
Mahayana, memisahkan diri dari Sagin, dan mendirikan Sangha Mahayana Indoneisa.
Sekarang ini di dalam Sagin, yang masih tetap dipimpin beliau terdapat
persatuan yang manis antara para Bhikkhu (Sangha Theravada), para Bhiksu
(Sangha Mahayana), maupun para Wiku (Sangha Tantrayana), dan para Bhiksuni
(Sangha Wanita). Semua bersatu dalam kendaraan Buddha (Buddhayana). Memang
pengetahuan beliau yang luas mengenai berbagai aliran dalam agama Buddha
memungkinkan beliau untuk dapat mengasuh umat dengan latar belakang yang
berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan mereka masing-masing.
Sebagai seorang bhikkhu, beliau tidak hanya dikenal oleh umat
Buddha di Indonesia. Pada saat awal menjadi bhikkhu, beliau mendapat julukan The
Flying Monk oleh umat Buddha di Malaysia dan Singapura karena
kegesitan beliau untuk ‘terbang’ dari satu tempat ke tempat lain untuk
membabarkan Dharma. Beliau juga beberapa kali mengikuti beberapa kegiatan
keagamaan yang berskala internasional. Diantaranya Persamuan Keenam (Chatta
Sangayana) yang diadakan di Rangoon, tahun 1954-1956, juga
konferensi-konferensi yang diadakan oleh The World Buddhist Sangha Council maupun The
World Fellowship of Buddhists. Beliau juga pernah menjadi wakil presiden
untuk The World Buddhist Sangha Council dan The World
Buddhist Social Services.
Saat ini beliau lebih banyak berdiam di Vihara Sakyawanaram,
Pacet. Bhante Ashin masih tetap hidup sederhana dibiliknya yang kecil di vihara
tersebut. Di usianya yang sudah senja ini, beliau memang sudah tidak banyak
membabarkan Dharma lagi. Namun beliau tetap ‘mengajarkan’ kepada kita semua,
umat Buddha Indonesia, melalui sikap dan tingkah laku beliau sehari-hari.
Banyak tokoh-tokoh Buddhis sekarang ini yang merupakan murid
beliau. Bapak Oka Diputhera, pejabat sementara ketua umum Walubi, mengenal
ajaran Sang Buddha dari beliau. Demikian pula dengan Alm. Bhante Giri adalah
salah satu murid beliau yang dulu sering bersama-sama beliau dalam menyebarkan
Dharma. Juga Brigjen Soemantri, salah satu tokoh pendiri Walubi, merupakan
salah satu murid beliau yang setia. Dr. Parwati Soepangat, salah satu tokoh
wanita Buddhis Indonesia dahulu kerap ikut bersama beliau berkunjung ke
berbagai daerah, pada awal-awal masa kebangkitan agama Buddha di Indonesia.
Hasil perbincangan dengan Y.M. Bhikkhu Ashin di kediamannya di
Lembah Cipendawa, Pacet – Cianjur Jawa Barat tanggal 25 Januari 1994. Pada saat
Upacara peringatan ulang tahun ke 72 dan 40 tahun pengabdian.
Apakah latar belakang pemberian nama Bhante Ashin Jinarakkhita?
Dengan bercanda Bhante mengucap : Ashin itu artinya kan banyak
makan garam) begini, yang memberikan nama Ashin Jinarakkhita adalah Guru
pembimbing Dhamma Yakni Y.A. Mahasi Sayadaw. Kenapa diberi nama itu, ya harus
bertanya pada beliau Y.A.Mahasi Sayadaw dikenal sebagai guru meditasi Vipassana
(Burmuse Methot) yang memiliki reputasi Internasional. Lahir pada tahun 1904 di
sebuah desa makmur yang terletak di Burma. Sejak berumur 6 tahun beliau dikirim
ke vihara untuk belajar Dharma. Beliau mulai menjadi bhikkhu pada usia 19 tahun
dengan nama Ashin U Shobana yang artinya “memberi harapan sukses”; sebuah nama
yang disesuaikan dengan ketegarannya, sikap yang mengesankan prilakunya yang
agung dan tenang, Sebagai penghargaan atas pencapaian spiritual dan intelektualnya
yang istimewa, beliau dianugerahi gelar Angga Maha Pandita yang berarti telah
mencapai
kebijaksanaan luhur” oleh Presiden Burma pada tahun 1952.
Bagaimana Bhante memperdalam Buddha Dharma?
Melalui buku-buku, setelah itu mencari guru. Misalnya untuk
memperdalam meditasi, belajar dengan Y.M Mahasi Sayadaw Sedangkan belajar
Abhidhamma dengan guru Abhidhamma. Namanya Y.A. Patthana Sayadaw.
Bagaimana Ceritanya Bhante bisa menjadi Anggota Sangha?
Kalau orang sekarang mungkin mengatakan itu panggilan Tuhan Yang
Maha Esa. Kalau nggak, mana mungkin begitu lama. Mungkin setengah jam
lagi saja sudah jadi umat awam lagi karena disiplin yang ketat.
Siapa orang yang paling berpengaruh atas keinginan Bhante
menjadi Bhikkhu?
Keluarga tidak ada. Semua orang menentang kecuali guru Ven. Pen
Cing yang mendorong dan memberikan biaya ke Burma. Pada zaman dahulu cia-cay
(vegetarian) saja orang sudah nentang, karena cara pemikiran pada masa itu
orang cia-cay dianggap jasmaninya lemah. Nggak sehat. Pada saat berumur 13
tahun, saya sudah vegetarian, tidak ada yang mengajarkan.
Apakah pandangan Bhante terhadap Agama Buddha pada waktu itu?
Saat itu, kita melihat agama lain banyak yang telah maju. Waktu
itu agama Buddha belum resmi, bahkan dulu pernah dilarang di Jakarta
Timur di mana Klenteng-klenteng ditutup atas perintah Pangdam Jakarta Timur.
Sekarang keadaannya lebih baik. Agama Buddha sudah resmi. Malah hari besar
agama Buddha yakni Hari Waisak dijadikan hari libur nasional.
Lalu, Apakah yang membuat Bhante tertarik pada agama Buddha?
Waktu dulu, agama lain juga dipelajari. Melihat yang baik,
diambil, dan dijalankan. Namun pelajaran agama Buddha itu kok cocok dengan
hati. Ya, diteruskan!
Dan, kita sebagai umat awam harus berperan
bagaimanakah dalam rangka ikut
memajukan agama Buddha?
Dasarnya Dharma. Banyak memperhatikan, belajar, mengerti,
melaksanakan serta mengamalkan Buddha Dharma. Itulah tugas kita semua. Kalau
bukan kita yang membantu, siapa lagi yang akan memajukan agama Buddha?
Kalau Bhante mulai hidup ini dari awal lagi, Bhante ingin
menjadi apa?
Tidak mau menjadi apa-apa. Kalau bisa jangan kembali lagi.
Bhante dikenal sebagai “Sang Pelopor kebangkitan Agama Buddha di
Indonesia “. Bagaimana pandangan Bhante terhadap sebutan tersebut?
Tidak gembira! Bikin repot saja! Kalau kita berbuat hendaknya
tinggalkan ke “Akuan” kita. Itu yang harus dipraktekkan. Jangan “aku” yang
ditonjolkan. Itu bukan ajaran Buddha.
Menurut Bhante, apakah ada perbedaan motivasi seseorang menjadi
bhikkhu antara dulu dengan sekarang?
Ada. Di Indonesia dulu orang takut menjadi Bhikkhu, kenapa?
Karena dulu ajaran Kong Hu Cu mengajarkan orang harus berkeluarga, harus cari
duit, punya rumah, punya harta banyak. Jadi kalau mau jadi bhikkhu, orang akan
mengatakan, “apa apaan nih jadi bhikkhu? Sekarang kita lihat orang tidak takut
lagi. Malah ada orang tua yang mendukung anaknya menjadi bhikkhu.
Apakah saran Bhante terhadap mereka yang berniat menjadi
bhikkhu?
Perhatikan ajaran Sang Buddha terlebih dahulu, kalau belum merasa
tertarik, jangan memaksakan diri, jangan menjadi bhikkhu karena pelarian. Jadi
sudah menyimpang dari tujuan agama Buddha yaitu merealisasikan kesempurnaan.
Apakah Bhante percaya kalau ada yang mengatakan dia tidak bisa
membantu vihara, atau lebih luasnya, tidak mempunyai waktu lagi untuk belajar
Buddha Dharma serta menjadi pengurus?
Tidak percaya! Satu hari ada 24 jam. Untuk belajar Buddha Dharma
tidak perlu berjam jam. Kalau kita ambil 30 menit saja masih cukup untuk tidur,
dan untuk mencari nafkah. Tergantung orangnya mau atau tidak mengatur waktunya.
Kalau tidak mau, ya tidak mempunyai waktu. (Bhante, kami setuju dengan
ucapan Bhante). Memang pada dasarnya tidak ada seorang manusia pun yang dapat
memaksa kita untuk membantu vihara serta belajar Buddha Dharma. Semua perbuatan
yang ada, kitalah yang mengatur, dan kita pulalah yang akan menerima
akibatnya.)
Apakah pesan Bhante untuk mereka yang saat ini menjadi pengurus?
Ada macam-macam pengurus. Ada yang untuk mencari nama, bukannya
mengabdi. Jadi kalau tidak dituruti ngomel. Jadi kalau mengabdi, mengabdilah
tanpa pamrih. Jangan mengharapkan apa-apa. Kalau membantu, harus membantu
dengan tulus. Perdalamlah Buddha Dharma dan praktekkan. Dharma itu penting.
Jangan kita beragama Buddha namun kurang pengertian tentang Dharma. Hidup
sederhana, berikanlah contoh yang baik. Jangan sering emosi. Hati-hati kalau
bicara, jangan membuat sakit hati orang, jagalah lidah yang tidak
bertulang.
Bagaimanakah ceritanya Bhante dapat berkenalan dengan Bhiksu
Prajnavira?
Saya kenal sejak Bhiksu Prajnavira masih anak-anak. Di Medan
waktu itu. Saya juga kenal seluruh keluarganya.
Mohon bimbingan Dharma dari Bhante !
Nih, dengar baik-baik. Anda patuh sila, samadhi, dan panna.
Taatilah sila dan Samadhi (meditasi). Kalau kita laksanakan sila dan samadhi
maka panna (kebijaksanaan) akan timbul dengan sendirinya. Tidak susah ! Yang
penting jalani ajaran-ajaran Sang Buddha.
Harapan Bhante?
Semua selamat, semua bisa sadar. Semua umat Buddha dapat
melaksanakan ajaran agama Buddha demi kepentingan seluruh umat manusia.
DOKUMENTASI PERJALANAN Y.M ASHIN JINARAKKHITA
Anagarika The Boan An, semasa menjadi Anagarika ini, beliau
sudah aktif menyebarkan agama Buddha walaupun hanya terbatas di perkumpulan
Teosofi dan Tiga Ajaran.
Konferensi Pers Waisak Nasional Pertama. Ketika menjadi
Anagarika ini, beliau mencetuskan ide berlian untuk menyelenggarakan upacara
Tri Suci Waisak secara nasional di Candi Borobudur. Akhirnya pada tanggal 22
Mei 1953 acara tersebut berhasil dilaksanakan.
Jakarta, Juli 1953 bertempat di Wihara Kong Hua Sie(skr
W.Vaipulya Sasana) beliau ditahbiskan menjadi seorang samanera dengan nama Ti
Chen. Penahbisan tersebut dilakukan menurut tradisi Mahayana(cha’n) di bawah
bimbingan Y.A. Sanghanata Arya Mulya Mahabhiksu (Pen Ching Lau Ho Sang)-tengah.
Myanmar, 23 Januari 1 954 Samanera Ti Chen ditahbiskan sekali
lagi menjadi seorang samanera menurut tradisi Theravada, dan pada sore harinya
diupasampada menjadi seorang bhikkhu. Y.A. Agga Maha Pandita U Ashin Sobhana
Mahathera, atau yang lebih terkenal dengan nama Mahasi Sayadaw menjadi guru
spiritual utamanya (Upajjhaya).
Bhante Ashin mendirikan Persaudaraan Upasaka-Upasika Indonesia
(PUUI), pada Pada hari Asadha 2499 atau 4 Juli 1955 di Wihara Buddha Gaya
Watugong- Ungaran, Semarang. Pada tahun 1979 PUUI berganti nama menjadi
Majelis Buddhayana Indonesia.
Borobudur-Jawa Tengah 1956, Memimpin Prosesi Waisak Buddha
Jayanti 2500 bersama Romo Mangunkawatja.
Di tahun 1956 umat Buddha sedunia merayakan Buddha
Jayanti, genapnya masa 2,500 tahun perjalanan sejarah agama Buddha terhitung
sejak Buddha Gotama wafat. Selama ini beredar ramalan yang menyatakan bahwa
setelah 2,500 tahun agama Budha akan lenyap, atau sebaliknya akan berkembang
kembali. Melalui perayaan ini tersirat harapan agama Buddha bangkit di zaman
modern. Di Indonesia perayaan Buddha Jayanti ditandai semangat kebangkitan
kembali agama Buddha yang pernah terkubur di bawah reruntuhan kerayaan
Majapahit.
Penahbisan Bhikkhu
tahun 1959 Biku Ashin Jinarakkhita mengundang 13 biku dari luar
negeri, yaitu Y.A. Mahasi Sayadaw dari Myanmar, Y.A. Mahathera Narada dan 6
biku lain dari Sri Lanka, 3 biku dari Thailand, dan 2 biku dari Kamboja.
Indonesia membutuhkan banyak bhikkhu. Menurut Vinaya atau
peraturan Sanggha, penahbisan bhikkhu, yaitu upasampada dapat dilakukan dengan
syarat paling kurang dihadiri oleh 5 bhikkhu senior. Ketika itu yang
ditahbiskan adalah Ong Tiang Biauw yang kemudian diberi nama Jinaputta. Ia adalah
pendiri sekolah Buddhis yang pertama di Indonesia. Sekolah yang terletak di
Jakarta ini asalnya Batavia English School (1931), pernah ditutup pada zaman
penjajahan Jepang, kemudian dibuka kembali dengan nama Sin Hwa English School
(1945), dan terakhir menjadi Sekolah Sariputra pada tahun 1955.
Sebelum menjadi bhikkhu, Tee Boan An pernah juga mengajar di
sekolah ini. Sekolah Sariputra memiliki sebuah vihara, tempat ibadah Buddhis
pertama di Jakarta yang tidak bercorak klenteng. Di sana pada tanggal 17 Mei
1959 Ong ditahbiskan menjadi samanera dan selanjutnya 5 hari kemudian
ditahbiskan menjadi bhikkhu di Watugong, Jawa Tengah. Bersamaan dengan itu
ditahbiskan pula Ktut Tangkas dari Singaraja dan Ki Sontomihardjo dari
Banyumas menjadi samanera. Tahun-tahun selanjutnya calon-calon bhikkhu dan
bhiksuni dikirim untuk ditahbiskan di luar negeri.
Vihara Vimala Dharma-Bandung 1959, Mengundang gurunya Y.A. Agga
Maha Pandita U Ashin Sobhana Mahathera/Mahasi Sayadaw ke Indonesia.
Bandung, 1959 Mengundang bhikkhu Narada ke Indonesia untuk acara
penahbisan bhikkhu di Indonesia.
Singaraja-Bali, November 1960.
Palembang April 1960, Buddha Dharma mulai bergema lagi di
Palembang sekian lama setelah jatuhnya kedatuan Sriwijaya.
Bengkulu Maret 1960, Sayadaw Ashin.
Ashin Jinarakkhita memulai Pembabaran Buddha Dharma di Sumatra.
Bersama Romo Kumarasamy, Medan 1960.
Palembang , Dua tahun kemudian Vihara Dharmakirti berdiri dan
diresmikan Sayadaw Ashin Jinarakkhita pada 8 Juli 1962.
Padang 1962, Sayadaw Ashin Jinarakkhita dibantu murid yang
dikasihinya Samanera Giri (kemudian dikenal dengan B.Girirakkhito) mulai
memperkenalkan Buddha Dharma di kota Padang.
Sisa Perabuan Ashin Jinarakkhita berupa relik warna-warni
berkilau. Kepercayaan Masyarakat Myanmar tempat beliau ditabhis menjadi biku
Theravada dan Umat Buddha umumnya, jika memiliki relik setelah perabuan, sudah
pasti beliau adalah Arahanta.
Dikutip dari https://sakyawanaram.wordpress.com/sejarahbhanteashin/