Oleh: Mahathera Nyanasuryanadi
Keluarga merupakan sekelompok manusia yang terdiri dari suami, istri,
anak-anak (bila ada) yang terikat atau didahului dengan perkawinan. Pembentukan
keluarga adalah berawal dari perkawinan. Menurut Sri Dhammananda (1995) dalam A Happy Married Life A Buddhis Perspective
dijelaskan bahwa perkawinan persekutuan antara dua individu, yang diperkaya dan
ditinggikan jika perkawinan itu membolehkan kepribadian yang bersangkutan
tumbuh. Perkawinan hancur berantakan saat sekutu yang satu mencoba “menelan’
sekutu yang lain, atau pun saat satu pihak menuntut kebebasan penuh.
Kehidupan keluarga baik suami maupun istri hendaknya berpikir lebih mementingkan
hubungan keluarga daripada kepentingan masing-masing. Hubungan demikian
merupakan pertalian dua kepentingan dan pengorbanan dilakukan demi kepentingan
kedua belah pihak. Saling pengertianlah rasa aman dan puas dalam perkawinan
dapat tercapai. Tak ada jalan pintas kepada kebahagiaan dalam perkewinan. Tak
ada dua orang anak manusia yang bisa hidup bersama dalam hubungan emosional
yang intim dalam waktu yang lama, tanpa harus berhadaban dengan kesalahpahaman
dan perselisihan yang timbul dari waktu ke waktu. Pengertian dan toleransi
dibutuhkan untuk mengatasi perasaan cemburu, kemarahan, dan curiga.
Sukses dalam perkawinan lebih didasarkan pada keharmonisan (keserasian)
dari pada sekedar mencari pasangan tepat. Kedua belah pihak terus-menerus berusaha
menjadi orang yang mempunyai sikap saling menghormati, mencintai, dan
memperhatikan anggota keluarga yang lain. Buddha bersabda “demikianlah perumah
tangga, bila wanita dan pria keduanya mengharapkan hidup bersama pada kehidupan
sekorang dan kehidupan yang akan datang, harus memiliki keyakinan yang
sebanding, sila yang sebanding,
kemurahan hati yang sebanding, dan kebijaksanaan yang sebanding, maka akan
hidup bersama pada kehidupan sekorang dan pada kehidupan yang akan datang . . .
Demikianlah di dunia ini, hidup sesuai dengan petunjuk Dhamma, pasangan suami
istri yang sepadan kebaikannya, di alam dewa bersuka cita mencapai kebahagiaan
yang di idam-idamkan” (A. II.61).
Berdasarkan sabda Buddha,
dapat dirumuskan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir dan batin dari dua orang
yang berbeda jenis kelamin, yang hidup bersama untuk selamanya dengan melaksanakan
Dharma (termasuk vinaya). Apa yang disebut kebahagiaan dalam kehidupan sekorang
ataupun kehidupan yang akan datang menghendaki adanya keyakinan, sila,
kemurahan hati, dan kebijaksanaan yang sebanding. Tujuan dari perkawinan tiada
lain adalah saling melengkapi, saling mendukung, dan melindungi, sehingga
pasangan yang bersangkutan bersama-sama dapat mencapai kesempumaan yang
mendatangkan kebahagiaan. Lembaga perkawinan merupakan tempat untuk mengembangkan
kekuatan secara sinergis dari dua individu yang membentuk pasangan, membebaskannya
dari kesepian, kekhawatiran, ketakutan, kekurangan dan kelemahan.
Selain tujuan perkawinan
untuk membentuk rumah-tangga yang aman, damai, rukun dan sejahtera pada
kehidupan sekorang, juga masing-masing individu mengharapkan agar perkawinannya
dapat berlanjut hingga pada kehidupan yang berikut setelah dipisahkan oleh
kematian pada kehidupan sekorang.
Secara terperinci akan dijelaskan
empat hal yang harus sebanding dan sama-sama dimiliki oleh suami-istri
merupakan faktor yang dapat melestarikan cita-cita keluarga bahagia, dijelaskan
sebagai berikut:
Saddha atau keyakinan dikatakan demikian apabila "ia
percaya pada penerangan agung dan Sang Buddha" (M.53). Namun keyakinan
ini harus "masuk akal dan
berdasarkan pada pengertian" (M.47), dengan demikian ia diharapkan
untuk menyelidiki dan menguji apa yang ia yakini (M.47-49). Sehubungan
dengan pengertian atau rumusan tentang keyakinan dalam Samyutta Nikaya XLVIII.45 dikatakan
"seorang yang memiliki pengertian, mendasarkan keyakinannya sesuai dengan
pengertian". Jelaslah bahwa saddha didasarkan pada pengertian, sehingga pengalaman (praktek), penalaran, dan pengetahuan
sangat menentukan tingkat
keyakinan dari yang bersangkutan.
Sila atau pelaksanaan
latihan peraturan moral. Sila
bukan peraturan lorangan, tetapi ajaran moral dengan tujuan agar umat Buddha
menyadari akan akibat yang baik bila
melaksanakannya dan akibat buruk bila tidak melaksanakannya. Seseorang adalah
bertanggung-jawab penuh pada setiap perbuatannya. Sehingga menurut Buddha
Dhamma, setiap individu harus bertindak dewasa dan bijaksana dalam perilakunya.
Pada kontek ini sila yang dimaksudkan adalah Pancasila Buddhis.
Mengenai tujuan dan manfaat dari pelaksanaan sila, Sang Buddha menyatakan
bahwa “sila menghasilkan kebebasan dari penyesalan, kebebasan dari penyesalan
membawa suka cita… kegiuran… ketenangan… kebahagiaan… pemusatan batin … melihat
dan mengetahui segala hal apa adanya… penolakkan dan surutnya minat (pada
hal-hal duniawi)… pembebasan sebagai tujuan akhir.. sila membawa
berangsur-angsur ke puncak pencapaian” (A.V).
Caga atau kemurahan hati, kedermawanan,
kasih sayang yang dinyatakan dalam bentuk pertolongan melalui perbuatan atau
kata-kata, serta tanpa ada perasaan bermusuhan dan iri hati, agar mahluk lain
dapat hidup dengan tenang, damai dan bahagia. Mengembangkan caga dalam batin
harus sering mengembangkan kasih sayangnya dengan menyatakan dalam batin
"semoga semua mahluk berbahagia,
bebas dan penderitaan, ... kebencian, ... kesakitan, ... dan
kesukaran. Semoga mereka dapat
mempertahankan kebahagiaan mereka
sendiri". Ia selalu memiliki kecenderungan batin untuk membahagiakan orang
lain, pada waktu ia menolong atau membantu orang lain ia akan merasa gembira
dan senang karena melihat orang yang ditolongnya bahagia.
Panna atau kebijaksanan adalah
sebagai hasil dari pengalaman, penalaran, dari pengetahuan
pribadi. Kebijaksanaan merupakan dasar dari perkembangan mental, moral,
spiritual, dan intelektual seseorang. Panna muncul bukan hanya didasarkan pada
teori tetapi yang paling penting adalah pengalaman dalam pengamalan ajaran Sang
Buddha. Secara ideal, yang dimaksudkan dengan panna adalah pengertian benar dari penembusan tentang
anicca (ketidak kekalan), dukkha (sulit mempertahankan sesuatu karena
sesuatu itu tidak kekal), dan anatta (tanpa inti atau jiwa yang kekal) sampai
mencapai penerangan sempurna,
dengan demikian ia mencapai kesucian serta mengetahui bahwa Tuhan Yang Maha Esa
adalah ada, mutlak, dan tak dapat digambarkan atau dipersamakan dengan apa pun.
Memiliki ke empat factor
kehidupan sebanding, sepasang suami istri mudah menyeberangi lautan hidup
berkeluarga yang penuh dengan suka dan duka serta tantangan. Kebijakan yang
sebanding, maka suami istri akan hidup dengan saling mengerti sehingga masalah
rumah tangga yang sedang dihadapi dapat dipecahkan bersama. Namun untuk
menemukan pasangan yang serasi se ia dan sekata adalah sukar sekali, temyata
banyak pasangan suami-istri memiliki sifat atau perangai yang tak sama. Dengan kata lain perangai pasangan suami istri adalah berlainan satu
dengan lainnya.
Terdapat empat macam pasangan perkawinan, yaitu: (1) raksasa dan
raksesi, suami istri merupakan pasangan yang hina dan berkelakuan buruk; (2)
raksasa dan dewi, suami berkelakuan buruk sedang istri berbudi luhur atau
berketakuan baik; (3) dewa dan raksesi, suami yang berkelakuan baik hidup
dengan istri yang buruk laku; (4) dewa dan dewi, pasangan yang sama-sama mulia
karena berkelakuan baik. Suduh tentu pcrkawinan dewa dan dewi yang berbahagia,
yang dipuji oleh Buddha (A.II.57-58). Perkawinan
yang dipertimbangkan matang-matang, direncanakan dan dipersiapkan dengan baik,
diharapkan membuahkan bentuk perkawinan dewa-dewi.
Buddha mengelompokkan para istri menurut wataknya.
Terdapat tujuh macam istri yakni (1) istri yang mirip pembunuh, yang jahat
pikirannya, kejam, melalaikan suami atau scrong; (2) istri yang menyerupai
perampok, yang mencuri atau menghamburkan pendapatan suami; (3) istri
gula-gula, yang rakus, penggunjing, cengeng dan membuat suami malas (4) istri yang menyerupai seorang ibu, yang
penuh kasih, merawat dan menjaga suaminya; (5) istri yang menyerupai saudara,
seperti adik yang memperlakukan kakaknya dengan hormat; (6) istri yang
menyerupai teman, kekasih pujaan yang penuh cinta; (7) istri yang mirip
pelayan, yang patuh, memikul beban dengan pasrah, bahkan tabah menghadapi
amarah suami. Tentu saja istri jenis pembunuh, perampok, dan gula-gula itu
tidak terhormat, tidak bermoral, sehingga membawa penderitaan (A.IV. 91). Gambaran mengenai istri,
sebaliknya pula dapat diberlakukan pada pria.
Karakteristik yang tak terbina baik akan merugikan
suaminya, bertingkah laku buruk, bermalas-malas, menghindari suaminya di tempat
tidur, patuh pada kata-kata orang lain, menghambur-hamburkan kekayaan
keluarga, senang bergaul
intim dengan tetangga namun tidak menghiraukan,
menghormati suami, senang mendatangi tempat-tempat umum tanpa disertai suami,
atau mendatangi rumah kenalan atau handai taulan (sendiri), memakai perhiasan
pemberian orang lain, senang bermabuk-mabukan, dan berdiri di pintu memandangi
orang lain (Jt.V).
Sumber lain mengisahkan, ketika
seorang suami menderita sakit keras, istrinya menghibur suaminya dengan
mengatakan bahwa mati dengan hati gundah akan berakibat tidak baik, dan bahwa
bila ia meninggal, si istri mampu memelihara anak-anak mereka dan meneruskan
penghidupan keluarga. Ia menyatakan bahwa ia tak akan menikah lagi, dan akan
meningkatkan keyakinan terhadap Sang Triratna, menjalankan sila, bermeditasi…
dan menjalankan rumah-tangga sesuai ajaran Sang Buddha. Ternyata kemudian
sang suami sembuh kembali; dan ketika dilaporkannya
peristiwa itu kepada Sang Buddha, beliau bersabda:
"... Sungguh beruntung engkau, orang baik, engkau mempunyai istri yang baik, menasihatimu, menjadi gurumu, dan batinnya
penuh kasih sayang serta hasrat yang
tulus untuk kesejahteraanmu..." (A.III).
Beberapa simpulan (1) melihat bahwa keakraban yang mendalam dalam hubungan suami-istri
berdasarkan pada penghayatan hidup yang berakar pada penghayatan moral. (2)
Menempuh kehidupan rumah-tangga nilai-nilai moral dan spiritual tidak boleh diletakkan dibelakang pertimbangan seksual atau
ekonomis. (3) Sekalipun suami merupakan
kepala dan tulang-punggung keluarga, istri pun harus
sanggup melakukan, dan memainkan peranan sosialnya sebagai istri
yang baik, yang idealnya telah
diuraikan di atas.
Kepada gadis-gadis yang ingin berkeluarga,
Sang Buddha mengajarkan kewajiban seorang istri yaitu:
1.
istri harus bangun lebih dahulu
dari suami; dengan sukarela menolong.
suami; bertingkah laku menyenangkan dan
berbicara secara bersahabat;
2.
menghormati orang-orang yang
dihormati oleh suami, seperti orang tua dan orang-orang suci,
menerimanya kalau mereka datang ke rumah;
3.
terampil dan cekatan dalam pekerjaan
suami, mempelajari seluk-beluknya, dan mampu mengatur, melaksanakan dan
menyelesaikannya;
4.
mampu mengolah rumah-tangga
beserta seluruh penghuninya, agar kebutuhan masing-masing terpenuhi atau setiap
orang mendapat sesuai dengan bagiannya;
5.
dapat mengamankan harta kekayaan
dan pendapatan suami, dan tidak berbuat seperti perampok, pencuri atau
penggelap. (A.III)
Sabda Sang Buddha: "... Para
istri yang memiliki sifat-sifat yang talah disebutkan akan memiliki kekuasaan
dan keberhasilan di dunia ini, dan dunia berada dalam genggaman
tangannya." (A.269)
Mencermati uraian yang talah dijelaskan nampaknya
cita-cita sosial Buddhis mengutamakan pria di atas wanita, bahwa pria lebih
tinggi daripada wanita, dan dengan demikian menolak persamaan antara pria dan
wanita. Sesungguhnya yang dipersoalkan tersebut bukanlah siapa yang
lebih tinggi atau lebih randah, melainkan peran masing-masing dalam keluarga.
Bahwa suami adalah kepala atau pemimpin
keluarga jelas terlihat dalam masyarakat Buddhis maupun masyarakat lain.
Namun masing-masing pihak tidak
lepas dari hak, kewajiban dan
tanggung-jawab masing-masing. Seorang istri yang baik disebut "devi", dan suami yang baik disebut
"deva", dan bila mereka berdua
memiliki panna (kebijaksanaan) yang sebanding seperti yang telah diuraikan di
atas, maka niscaya bagi mereka tidak akan timbul perasaan bahwa suami lebih
tinggi kedudukannya atau sebaliknya. Sebab dengan adanya panna maka saling
mengerti dapat terbina dan keluarga yang rukun dapat dibentuk.
Mengenai suami, secara umum Sang Buddha mengatakan bahwa
seorang yang menyokong orang tua, istri dan anak, bekerja untuk kebaikan
keluarga dan masyarakat luas, dapat disebut sebagai "seorang yang baik dan
berharga". (S.I.228; A.IV.224)
Kitab Jataka disebutkan tentang delapan hal yang
menyebabkan suami dibenci oleh istrinya sendiri yaitu: miskin, sakit-sakitan,
tua, bermabuk-mabuk, bodoh, kurang perhatian, terlalu sibuk, dan
menghambur-hamburkan uang. (Jt.V.433).
Secara positif para suami dianjurkan untuk memelih arah
istri mereka dengan cara bersikap manis, menghormatinya, tidak membencinya,
setia kepadanya, memberikan wewenang kepadanya, menghadiahkan perhiasan dan
lain-lain kepadanya; (D.III.l90)
Selanjutnya, suami harus berbicara
ramah kepada istrinya; membantunya dalam
segala pekerjaan; membawanya mengunjungi
upacara dan pesta-pesta; mendorongnya untuk melakukan upacara-upacara
keagamaan; dan menasihatinya dalam hal kebaikkan. (Kh.138).
Mempertahankan keutuhan rumah-tangga,
sangat perlu adanya faktor saling percaya mempercayai, karena apabila hal ini
berkurang maka titik-titik permulaan keretakan akan muncul dalam bentuk curiga
mencurigai. Mencurigai adalah sifat mental yang kurang baik, yang biasanya
muncul karena kelemahannya sendiri sebab ketidaktahuan atau kurang mengetahui
persoalan yang dihadapi. Kemampuan yang kurang ini, kemudian mendengar cerita
orang lain tentang keadaan istri atau suami atau mungkin karena melihat prilaku
suami atau istri sendiri yang mengakibatkan pikiran buruk terjadi.
Sang Buddha menjelaskan sebab musabab dari curiga dibahas
dalam Anguttara Nikaya, sebagai berikut: (1) mencurigai seseorang
karena cinta kepadanya (chandagati), (2) mencurigai
seseorang karena tidak senang atau
membenci orang itu (dosagati), (3) mencurigai
seseorang karena kebodohan atau ketidaktahuan mengenai orang itu
(mohagati), (4) mencurigai seseorang karena merasa takut kepada orang itu
(bhayagati) (A.II).
Menurut Ajaran Buddha, suatu keluarga seorang suami boleh mengharapkan hal-hal berikut dari isterinya:
cinta, perhatian, kewajiban keluarga, kesetiaan, pengurusan anak, tabungan,
penyediaan makanan, penghiburan saat ia lagi kecewa, kemanisan sikap.
Sebagai balasannya, seorang isteri berhak mendapatkan hal-hal berikut
dari suaminya: kelembutan, rasa hormat, kesempatan bermasyarakat, keamanan,
keadilan, kesetiaan, kejujuran, persahabatan, dukungan moral,
Selain aspek-aspek emosional dan
psikologis, pasangan suami-isteri mengatur keadaan hidup sehari-hari, keuangan
rumah-tangga, dan kewajiban-kewajiban sosial. Tukar pikiran antara suami dan
isteri mengenai semua persoalan rumah tangga akan membantu menciptakan atmosfir
rumah-tangga yang penuh pengertian dan saling mempercayai, memecahkan persoalan
apa saja yang mungkin tumbuh.
Menjalani hidup dengan
apa adanya dan puas dengan apa yang ada, bisa dijadikan sebagai salah satu
alternatif jawaban, di samping: (1) Tidak membuat perbandingan dan perhitungan
dengan orang lain. (2) Tidak menyesali diri dan menyalahkan orang lain. (3)
Tidak mencelakai orang lain dan mencari-cari alasan demi pembenaran diri. (4)
Tidak tamak, tidak dengki dan iri. (5) Tidak rendah diri dan tidak mudah
berputus asa, caranya dengan berfikir
positif tentang diri sendiri dengan langkah-langkah (a) Tanamkan pada diri
sendiri bahwa diri sendiri orang yang paling bahagia di dunia ini. (b) Tanamkan
pada diri sendiri bahwa diri sendiri orang yang sempurna. (c) Tanamkan pada
diri sendiri bahwa diri sendiri orang yang berkecukupan. (d) Tanamkan juga
bahwa kita "the best person in this world". (6) Tidak mempunyai prasangka dan berhati
lurus.