Minggu, 27 Januari 2013

HUKUM KARMA

A. Pengertian
Hukum karma adalah salah satu hukum alam yang mengatur hubungan sebab-akibat suatu perbuatan. Karma adalah suatu perbuatan yang diniatkan atau perbuatan melalui tubuh, ucapan dan pikiran dilandasi niat (cetana). Tidak ada sesosok makhluk yang menentukan “imbalan dan hukuman” atas apa yang kita lakukan.  Kita mencciptakan penyebab dari tindakan kita dan kita akan mengalami sendiri akibat dai tindakan tersebut. Karma berlaku pada gagasan-gagasan kita yang didasari kehendak, tidak berlaku untuk perbuatan netral (cnth: berjalan, duduk, atau tidur). Karma mempengaruhi apa yang kita alami selama hidup ini  (perilaku orang terhadap kita, kekayaan, status sosial, lingkungan tempat tinggal, kepribadian dan watak kita, bakat, perilaku dan kebiasaan).

B. Penggolongan Karma
a. Karma menurut fungsi
1.      Karma penghasil (Janaka-kamma): karma yang membuahkan akibat.
2.      Karma penguat (Upatthambhaka-kamma): karma yang memperkuat akibat karma lain.
3.      Karma pelemah (Upapilaka-kamma): karma yang melemahkan akibat karma lain.
4.      Karma penghancur (Upaghataka-kamma): karma yang menghancurkan akibat karma lain.
b. Karma menurut prioritas
1.      Karma berat (Garuka-kamma): karma yang sangat berat/ dahsyat akibatnya. (cnth: membunuh ibu, membunuh ayah, membunuh Araha, melukai Budda, memecah-belah Sangha).
2.      Karma menjelang ajal (Maranassana-kamma): karma yang dilakukan saat menjelang kematian. Karma menjelang ajal ini sangat menentukan kelahiran kita pada kehidupan sebelumnya.
3.      Karma kebiasaan (Acinaka-kamma): karma yang dilakukan sebagai kebiasaan selama hidup.
4.      Karma kumulatif (Katatta-kamma): karma yang akan membuahkan hasil jika jenis karma lain di atas tidak ada.
c. Karma menurut waktu berbuah
1.      Ditthadhamma Vedaniya-kamma: Karma yang berbuah pada kehidupan ini.
2.      Upapajja Vedaniya-kamma: Karma yang berbuah pada satu kehidupan yang akan datang.
3.      Aparapariya Vedaniya-kamma: Karma yang berbuah pada kehidupan-kehidupan mendatang/ waktu yang tak tertentu.
4.      Ahosi-kamma: Karma yang kedaluwarsa/ sudah habis waktu berbuahnya, sehingga tidak menimbulkan akibat.
d. Karma menurut tempat berbuah
1.      Kamaloka: Karma buruk yang berbuah di alam indrawi.
2.      Kamaloka: Karma baik yang berbuah di alam indrawi.
3.      Rupaloka: Karma baik yang berbuah di alam bentuk.
4.      Arupaloka: Karma baik yang berbuah di alam tanpa- bentuk.

C. Bekerjanya Hukum Karma
Semua perbuatan yang didasari oleh niat akan menciptakan potensi untuk menimbulkan hasil (vipaka) atau buah (phala) yang sesuai dengan kualitas perbuatan itu sendiri.
“Sesuai benih yang ditabur, begitulah buah yang akan dituai. Pelaku kebaikan akan menuai kebaikan, pelaku keburukan akan menuai keburukan. Begitu benih ditabur, dan tertanam, engkau akan merasakan buahnya.” (Samyutta Nikaya I, 227)
Hukum karma bukan hukum pembalasan, sehingga terdapat jalan untuk mempengaruhi/ menekan karma buruk dengan cara mengembangkan kemampuan dan kebiasaan baik.  Terdapat 3 akar penyebab karma buruk : Ketamakan (lobha), kebencian (dosa), dan kegelapan batin (moha).
a. Sepuluh Perbuatan Baik
1.      Dermawan (dana)
2.      Bermoral (sila)
3.      Mengem bangkan batin (bhavana)
4.      Menghargai (apacayana)
5.      Melayani (veyyavacca)
6.      Melimpahkan jasa (pattidana)
7.      Bersyukur ( pattanumodana)
8.      Belajar Dharma (Dhammadesana)
9.      Membabarkan  Dharma (Dhammasavana)
10.  Meluruskan pandangan (Ditthijjukamma)
b. Sepuluh Perbuatan Tidak Baik
1.      Membunuh
2.      Mencuri
3.      Berzina
4.      Berbohong
5.      Memfitnah
6.      Berkata kasar
7.      Berbicara yang tak berguna
8.      Tamak
9.      Membenci
10.  Berpandangan salah

D. Karma Selalu Adil
Ada orang kikir dan sombong berlimpah kekayaan, sebaliknya orang yang dermawan malah hidup kekurangan. Ini merupakan akibat dari tindakan yang kita lakukan sebelumnya. Tidak boleh hanya melihat dari kehidupan saat ini. Banyak sekali akibat yang kita alami pada kehidupan ini merupakan akibat dari tindakan-tindakan kita pada kehidupan lampau kita, dan banyak tindakan-tindakan yang kita lakukan dalam kehidupan sekarang ini yang akan masak dalam kelahiran yang akan datang.

E. Karma Dapat Berubah
Tidak dapat terhapus begitu saja hanya dengan maaf/ tobat. Tetapi kita bisa mencegah penderitaan di masa mendatang dan meredakan rasa bersalah dengan menyatakan penyesalan, tidak mengulangi kesalahan yang sama dan aktif melakukan perbuatan baik.
HARUS BERBUAT BAIK: Untuk mengurangi dampak buruk masa lampau  adalah dengan melakukan kebajikan dalam kehidupan sekarang. Benih-neniih karma masa lampau selalu mengikuti kita kemanapun, tetapi hanya akan menghasilkan akibat kalau ada kondisi yang mendukung. Jadi jika mengembangkan kebaikan, maka karma buruk masa lampau tersebut bisa tidak memiliki kesempatan berbuah karena tidak ada kondisi yang mendukung.
Menolong Makhluk Lain yang Menderita Akibat Karma Buruknya Semua makhluk bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri, namun kita masih harus menolong mereka yang menderita. Tidak seharusnya memanfaatkan kaida sebab-akibat untuk mendukung kemalasan, sikap apatis (ketidakpedulian dan keangkuhan kita untuk tidak menolong sesama. Welas asih dan tanggung jawab universal sangat penting demi perkembangan spritual kita sendiri dan kedamaian dunia. Kita wajib mencintai dan menolong sesama makhluk yang menderita.

F. Manfaat Memiliki Keyakinan Terhadap Hukum Karma
Keyakinan harus timbul bukan karena ketakutan akan hukuman, melainkan demi kebahagiaan semua makhluk. Berpengaruh terhadap perilaku kitaà lebih menghargai setiap waktu, senantiasa mengambangkan diri dan melakukan kebajikan, bertanggung jawab atas perbuatannnya, tidak mengeluh menghadapi hal apapun. Membantu kita menyadari bahwa kita sendirilah yang bertanggung jawab menentukan nasib kita sendiri sehingga kita akan berusaha untuk memperbaiki diri.

KESERAKAHAN DAN KEBODOHAN BATIN PEMBENTUK KORUPSI

Persepektif Buddhist
Oleh Nuryanto, S.Ag

Korupsi adalah permasalahan besar yang masih membelenggu masyarakat Indonesia. Korupsi telah ada sejak lama dan telah berakar kuat pada masyarakat Indonesia. Namun, bukan berarti sebagai manusia beradab hanya menutup mata terhadap masalah korupsi sebagai jalan keluarnya.
Dasar seseorang melakukan korupsi adalah keserakahan (lobha) dan berakar pada kebodohan-batin (moha). Buddha bersabda “Sungguh bahagia jika kita hidup tanpa keserakahan di antara orang-orang yang serakah; di antara orang-orang yang serakah, kita hidup tanpa keserakahan” (Dh.199). Di lain kesempatan Buddha bersabda kepada para siswanya “Yang lebih buruk dari semua noda adalah kebodohan. Kebodohan merupakan noda paling buruk. O, para bhikkhu, singkirkanlah noda ini dan hiduplah tanpa noda” (Dh.243). Jika seseorang memiliki pandangan yang benar, niscaya tidak akan bertindak bodoh. Menyadari bahwa segala sesuatu, baik materi maupun non-materi adalah tidak kekal atau selalu berubah-ubah (anicca). Dengan menyadari hukum alam tersebut, siapa pun akan berpikir lebih jernih dan nyata sehingga tidak akan bertindak bodoh. Walaupun bersumber pada diri sendiri, lingkungan juga mempunyai andil yang sangat besar dalam pembentukan karakteristik seorang manusia.
Lingkungan yang buruk, banyaknya korupsi, akan menarik seseorang jatuh ke jurang kejahatan jika tidak memiliki kebijaksanaan (panna). Lingkungan buruk yang dimaksudkan ditekankan pada pergaulan dengan teman-teman yang kurang baik, dalam hal ini korupsi, yang mungkin bisa memengaruhi seseorang menjadi buruk juga, walaupun pada akhirnya kembali kepada dirinya sendiri. Biasanya banyak terpengaruh oleh lingkungan, jadi berhati-hatilah dan selalu bijaksana.
Salah satu aturan-moralitas Buddhis (sila) dalam lima aturan-moralitas Buddhis (pancasila) yang perlu dihindari oleh umat Buddha adalah menahan diri dari mengambil barang-barang yang tidak diberikan pemiliknya. Mengambil barang-barang yang tidak diberikan pemiliknya termasuk antara lain: mencuri, merampok, atau pun korupsi. Korupsi bisa dikatakan melanggar aturan-moralitas Buddhis (sila) ke dua dari lima aturan-moralitas Buddhis (pancasila), dikarenakan memenuhi syarat-syarat pelanggaran sila ke-2, adanya subjek (pelaku), keinginan mencuri, objek (Negara, perusahaan, masyarakat, dsb) dan kejadian nyata perpindahan kepemilikan (hasil yang diambil).
Korupsi termasuk melanggar aturan-moralitas Buddhis (sila) ke dua dan akan mengkondisikan seseorang melanggar aturan moralitas Buddhis (sila) ke-4 (menahan diri dari ucapan yang tidak benar atau berbohong) dikarenakan ketika seseorang melakukan korupsi, ia telah ‘mencuri’ dan akan mengondisikannya berbohong untuk menyembunyikan perbuatannya.
Buddha menjelaskan 4 macam Ditthadhammikatthapayojana (hal-hal berguna pada saat sekarang), yaitu menganjurkan seseorang untuk rajin,  bersemangat, mencari nafkah dengan cara yang benar, dan pergaulan yang baik sehingga tidak mudah terjerumus ke lingkungan yang buruk (A.iv.285). Dengan sikap hidup yang penuh semangat dan rajin, tentunya seseorang tidak akan mudah untuk melakukan tindakan korupsi. Jadi mulailah giat untuk bekerja dan selalu bersemangat, sehingga tidak mudah berbuat hal-hal seperti itu. Selain sikap hidup yang rajin dan bersemangat, seseorang juga dituntut mempunyai rasa malu untuk berbuat jahat (hiri) dan rasa takut akan akibat perbuatan jahat (otapa). Dengan memiliki rasa malu dan rasa takut untuk berbuat yang tidak baik, seseorang akan berpikir dua kali untuk melakukan tindakan yang buruk korupsi.
Buddha menjelaskan, bahwa mata pencaharian akan menjadi tidak benar ketika mata pencahariannya dimanfaatkan untuk: menipu (kuhana), membual (lapana), memeras (nemittakata), menggelapkan (nippesikata), merampok agar mendapat hasil yang banyak (labha) (M.117). Buddha menjelaskan bahwasanya cara dalam mencari kekayaan tidak boleh seperti itu. Korupsi bisa dikatakan telah memenuhi kelima hal tersebut di atas, sehingga perbuatan yang dilakukannya tersebut bisa jadi akan mencemarkan profesi yang ditekuninya dan mungkin berakibat ketidakpercayaan orang-orang terhadap profesi tersebut. Selain dari dalam diri sendiri, yang perlu dikembangkan untuk menahan laju perkembangan korupsi adalah dengan memberikan pandangan yang benar kepada orang lain dan membuat interaksi yang positif dimulai dari diri sendiri. Dengan demikian akan terbentuk lingkungan yang kondusif yang bebas dari sikap hidup korupsi, sehingga akan meningkatkan rasa malu dan rasa takut dalam berbuat korupsi.
Akibat dari tindakan korupsi dapat dilihat dari dua aspek, antara lain:  1) pelaku (orang yang melakukan korupsi), akan berakibat rasa bersalah atau takut karena telah berbuat jahat dan rasa malu karena telah bertindak tidak benar, 2) lingkungan (di luar pelaku, bisa keluarga, masyarakat,dsb), yang berakibat rasa malu keluarga pelaku korupsi dan kerugian secara materi bagi Negara, perusahaan, atau masyarakat.


Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta
Semoga semua makhluk berbahagia
Sadhu (semoga demikian adanya) 3x

Rabu, 09 Januari 2013

Nasihat Buddha untuk Keluarga


Oleh : Mahathera Nyanasuryanadi

 Buddha memberikan nasihat kepada seorang istri dan suami:
1. Isteri
Saat memberikan nasihat kepada seorang wanita berkenaan dengan peranannya dalam keluarga, Buddha menyatakan bahwa kedamaian dan keharmonisan keluarga lebih banyak tergantung pada isteri.  Nasihat yang  diberikanNya sungguh realistis  dan praktis, berupa sejumlah perilaku sehari-hari yang pantas dan tidak pantas dilakukan oleh  seorang isteri, yaitu:
a)      tidak menumbuhkan  pikiran-pikiran yang kurang baik tentang suaminya;
b)      tidak bersikap kasar, kejam dan menguasai;
c)      tidak boros, sebaliknya harus hemat dan hidup sewajamya;
d)     menjaga dan menyimpan hasil kerja keras dan harta suaminya;
e)      selalu  memberikan  perhatian  serta  pertimbangan dalam berpikir dan berbuat;
f)       setia dan tidak menumbuhkan pikiran-pikiran yang menghantar ke penye-lewengan;
g)      halus dalam tutur kata dan santun dalam tingkah laku;
h)      penuh kasih sayang, rajin, dan kerja sungguh-sungguh;
i)        penuh perhatian dan belas-kasih kepada suaminya dan sikapnya mesti setara dengan cinta kasih seorang ibu terhadap anak satu-satunya;
j)        rendah hati dan penuh rasa hormat;
k)      sejuk, tenang dan penuh pengertian melayani tidak hanya sebagai isteri tetapi juga sebagai seorang teman dan penasihat, saat diperlukan.
Padahal dijaman itu guru-guru religius yang lain lebih menekankan tugas seorang isteri sebagai pemberi keturunan bagi suaminya, melayani dengan tulus, dan membahagiakan suaminya. Pada masyarakat tertentu, kelahiran seorang anak laki-laki sangat dipentingkan. Ada kepercayaan bahwa seorang anak lelaki diperlukan untuk memimpin upacara kematian orang tuanya, supaya kehidupan mereka di alam selanjutnya menjadi lebih baik. Kegagalan untuk memperoleh anak laki-laki dari isteri pertama, memberikan kebebasan kepada seorang laki-laki untuk mengambil isteri lagi. Agama Buddha menolak kepercayaan seperti itu.
Perlakuan yang diterimanya dari seorang suami yang baik, berdasarkan Sigalovada Sutta seorang isteri yang men­cintai suaminya mempunyai kewajiban sebagai berikut: (1) melakukan semua tugas kewajibannya dengan baik, (2) bersikap ramah kepada keluarga dad kedua belah pihak, (3) setiap kepada suaminya, (4) menjaga baik-baik barang-barang yang dibawa oleh suaminya, (5) pandai dan rajin dalam melaksanakan semua pekerjaannya (D.III.190).
Ketika Visaka ingin menikah, ayahnya memberikan nasehat sebagai berikut (Dhammapada Atthakatha, Buddhist Legends jilid II.72-73): (1) Jangan membawa keluar api yang berada di dalam rumah. (2) jangan memasukkan api dari luar ke dalam rumah, (3) memberi hanya kepada mereka yang memberi, (4) jangan memberi kepada mereka yang tidak memberi, (5) memberi kepada mereka yang memberi dan tidak memberi, (6) duduk dengan bahagia, (7) makan dengan bahagia, (8) tidur dengan babagia, (9) rawatlah api dalam rumah, (10) hormatilah dewata keluarga.
Menurut apa yang diajarkan Buddha sebagai Hukum Karma, seseorang bertanggung-jawab atas tindakannya sendiri. Apakah yang dilahirkan itu seorang anak laki-laki atau seorang  anak perempuan tidak ditentukan oleh (calon) ayah atau ibunya, tetapi oleh karma dari (calon) anak tersebut. Kehidupan  selanjutnya  dari seorang kakek atau ayah tidak ditentukan oleh anak cucu. Masing-masing bertanggung-jawab atas perbuatannya sendiri.
Jadi, sungguh bodoh jika seorang pria menyalahkan isterinya atau merasa belum lengkap kalau belum mendapatkan seorang anak laki-laki. Ajaran Buddha menolong orang mernperbaiki pandangan salah, dan dengan sendirinya mengurangi kesengsaraan kaum wanita yang tidak melahirkan anak lelaki. Buddha telah mengemukakan gagasan yang begitu modern. Selain kewajiban seorang isteri, dengan jelas Beliau juga menjelaskan kewajiban-kewajiban seorang suami terhadap isterinya.

2. Suami
Suami sebagai kepala keluarga wajib memiliki peng­hasilan yang secukupnya agar dapat memenuhi segala kebutuhan keluarganya. Ia wajib membahagiakan anak dan isterinya di samping menyokong dan merawat kedua orang tuanya yang masih hidup. Kepada orang tua dan leluhur yang sudah meninggal maka ia wajib melakukan Pattidana (Melakukan perbuatan-perbuatan jasa yang kemudian dmlimpahkan kepada para almarhum tersebut).
Agar seorang suami tidak dibenci oleh isterinya maka ia wajib rajin bekerja agar tidak jatuh miskin, wajib memelihara kesehatan agar tidak sakit-sakitan, wajib menghindarkan minuman keras agar tidak mabuk-mabukan, wajib banyak belajar agar tidak bodoh, wajib bersikap telaten dan perduli agar tidak mengabaikan isterinya, jangan terlalu sibuk dan dapat membagi waktunya untuk isteri, wajib ber­hemat dan tidak menghambur-hamburkan uang (Jt.V.433)
Buddha menjawab pertanyaan bagaimana seharusnya seorang suami memperlakukan isterinya menyatakan bahwa seorang suami harus  menghargai dan menaruh hormat pada isterinya, dengan menjaga kesetiaannya, dengan memberi isterinya keleluasaan dalam mengatur urusan rumah-tangga, dan dengan memberinya segala kebutuhan yang diperlukan.
Sifat laki-laki untuk meletakkan dirinya lebih tinggi dari pada wanita. Mengetahui hal ini, Buddha memelopori perubahan radikal dan mengangkat harkat wanita dengan anjuran sederhana yaitu para suami hendaknya menghormati dan menghargai isteri mereka. Bersikap lemah lembut terhadap isterinya. Seorang suami harus setia kepada isterinya. Memberikan kekuasaan tertentu kepada isterinya. Memberikan atau menghadiahkan perhiasan kepada isterinya  (D.III.190). Artinya ia mesti memenuhi dan menjalankan kewajibannya terhadap isteri, di dalam kehidupan berumah-tangga. Hanya dengan cara demikian, kebersamaan di dalam perkawinan dapat dipertahankan.
Kepala keluarga wajib memiliki (1) kejujuran dan selalu menepati janji kepada orang lain (sacca), (2) pengendalian pikiran yang baik (dama), (3) kesabaran dalam menghadapi setiap persoalan sulit (khanti), (4) kemurahan hati terhadap mereka yang pantas untuk diberi (caga)(S.I.215).

Kehidupan Keluarga Yang Saling Melengkapi

Oleh: Mahathera Nyanasuryanadi

Keluarga merupakan sekelompok manusia yang terdiri dari suami, istri, anak-anak (bila ada) yang terikat atau didahului dengan perkawinan. Pembentukan keluarga adalah berawal dari perkawinan. Menurut Sri Dhammananda (1995) dalam A Happy Married Life A Buddhis Perspective dijelaskan bahwa perkawinan persekutuan antara dua individu, yang diperkaya dan ditinggikan jika perkawinan itu membolehkan kepribadian yang bersangkutan tumbuh. Perkawinan hancur berantakan saat sekutu yang satu mencoba “menelan’ sekutu yang lain, atau pun saat satu pihak menuntut kebebasan penuh.
Kehidupan keluarga baik suami maupun istri hendaknya berpikir lebih mementingkan hubungan keluarga daripada kepentingan masing-masing. Hubungan demikian merupakan pertalian dua kepentingan dan pengorbanan dilakukan demi kepentingan kedua belah pihak. Saling pengertianlah rasa aman dan puas dalam perkawinan dapat tercapai. Tak ada jalan pintas kepada kebahagiaan dalam perkewinan. Tak ada dua orang anak manusia yang bisa hidup bersama dalam hubungan emosional yang intim dalam waktu yang lama, tanpa harus berhadaban dengan kesalahpahaman dan perselisihan yang timbul dari waktu ke waktu. Pengertian dan toleransi dibutuhkan untuk mengatasi perasaan cemburu, kemarahan, dan curiga.
Sukses dalam perkawinan lebih didasarkan pada keharmonisan (keserasian) dari pada sekedar mencari pasangan tepat. Kedua belah pihak terus-menerus berusaha menjadi orang yang mempunyai sikap saling menghormati, mencintai, dan memperhatikan anggota keluarga yang lain. Buddha bersabda “demikianlah perumah tangga, bila wanita dan pria keduanya mengharapkan hidup bersama pada kehidupan sekorang dan kehidupan yang akan datang, harus memiliki keyakinan yang sebanding,  sila yang sebanding, kemurahan hati yang sebanding, dan ke­bijaksanaan yang sebanding, maka akan hidup bersama pada kehidupan sekorang dan pada kehidupan yang akan datang . . . Demikianlah di dunia ini, hidup sesuai dengan petunjuk Dhamma, pasangan suami istri yang sepadan kebaikannya, di alam dewa bersuka cita mencapai kebaha­giaan yang di idam-idamkan” (A. II.61).
Berdasarkan sabda Buddha, dapat dirumuskan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir dan batin dari dua orang yang berbeda jenis kelamin, yang hidup bersama untuk selamanya dengan me­laksanakan Dharma (termasuk vinaya). Apa yang disebut kebahagiaan dalam kehidupan sekorang ataupun kehidupan yang akan datang menghendaki adanya keyakinan, sila, kemurahan hati, dan kebijaksanaan yang sebanding. Tujuan dari perkawinan tiada lain adalah saling melengkapi, saling mendukung, dan melindungi, sehingga pasangan yang bersangkutan bersama-sama dapat mencapai kesempumaan yang mendatangkan kebahagiaan. Lembaga perkawinan merupakan tempat untuk me­ngembangkan kekuatan secara sinergis dari dua individu yang membentuk pasangan, membe­baskannya dari kesepian, kekhawatiran, ketakutan, kekurangan dan kelemahan.
Selain tujuan perkawinan untuk membentuk rumah-tangga yang aman, damai, rukun dan sejahtera pada kehidupan sekorang, juga masing-masing individu mengharapkan agar perkawinannya dapat berlanjut hingga pada kehidupan yang berikut setelah dipisahkan oleh kematian pada kehidupan sekorang.
Secara terperinci akan dijelaskan empat hal yang harus sebanding dan sama-sama dimiliki oleh suami-istri merupakan faktor yang dapat melestarikan cita-cita keluarga bahagia, dijelaskan sebagai berikut:
Saddha atau  keyakinan dikatakan demikian apabila "ia percaya pada penerangan agung dan Sang Buddha" (M.53). Namun  keyakinan  ini  harus "masuk akal dan berdasarkan pada pengertian" (M.47), dengan demikian ia diharapkan untuk menyelidiki dan menguji apa yang ia yakini (M.47-49). Sehubungan dengan pengertian atau rumusan tentang keyakinan dalam  Samyutta Nikaya XLVIII.45 dikatakan "seorang yang memiliki pengertian, mendasarkan keyakinannya sesuai dengan pengertian". Jelaslah bahwa saddha didasarkan pada pengertian,  sehingga pengalaman  (praktek), penalaran, dan  pengetahuan  sangat  menentukan tingkat keyakinan dari yang bersangkutan.
Sila  atau  pelaksanaan  latihan  peraturan moral. Sila bukan peraturan lorangan, tetapi ajaran moral dengan tujuan agar umat Buddha menyadari akan akibat yang baik  bila melaksanakannya dan akibat buruk bila tidak melaksanakannya. Seseorang adalah bertanggung-jawab penuh pada setiap perbuatannya. Sehingga menurut Buddha Dhamma, setiap individu harus bertindak dewasa dan bijaksana dalam perilakunya. Pada kontek ini sila yang dimaksudkan adalah Pancasila Buddhis.
Mengenai tujuan dan manfaat dari pelaksanaan sila, Sang Buddha menyatakan bahwa “sila menghasilkan kebebasan dari penyesalan, kebebasan dari penyesalan membawa suka cita… kegiuran… ketenangan… kebahagiaan… pemusatan batin … melihat dan mengetahui segala hal apa adanya… penolakkan dan surutnya minat (pada hal-hal duniawi)… pembebasan sebagai tujuan akhir.. sila membawa berangsur-angsur ke puncak pencapaian” (A.V).
Caga atau kemurahan hati,  kedermawanan, kasih sayang yang dinyatakan dalam bentuk pertolongan melalui perbuatan atau kata-kata, serta tanpa ada perasaan bermusuhan dan iri hati, agar mahluk lain dapat hidup dengan tenang, damai dan bahagia. Mengembangkan caga dalam batin harus sering mengembangkan kasih sayangnya dengan menyatakan dalam batin "semoga semua mahluk berbahagia,  bebas dan penderitaan, ... kebencian, ...  kesakitan, ...  dan   kesukaran.  Semoga   mereka dapat  mempertahankan  kebahagiaan mereka sendiri". Ia selalu memiliki kecenderungan batin untuk membahagiakan orang lain, pada waktu ia menolong atau membantu orang lain ia akan merasa gembira dan senang karena melihat orang yang ditolongnya bahagia.
Panna atau kebijaksanan adalah  sebagai  hasil  dari pengalaman, penalaran, dari pengetahuan pribadi. Kebijaksanaan merupakan dasar dari perkembangan mental, moral, spiritual, dan  intelektual seseorang. Panna muncul bukan hanya didasarkan pada teori tetapi yang paling penting adalah pengalaman dalam pengamalan ajaran Sang Buddha. Secara ideal, yang dimaksudkan dengan panna adalah pengertian benar dari penembusan  tentang  anicca (ketidak kekalan), dukkha (sulit mempertahankan sesuatu karena sesuatu itu tidak kekal), dan anatta (tanpa inti atau jiwa yang kekal)  sampai  mencapai  penerangan sempurna, dengan demikian ia mencapai kesucian serta mengetahui bahwa Tuhan Yang Maha Esa adalah ada, mutlak, dan tak dapat digambarkan atau   dipersamakan dengan apa pun.
Memiliki ke empat factor kehidupan sebanding, sepasang suami istri mudah menyeberangi lautan hidup berkeluarga yang penuh dengan suka dan duka serta tantangan. Kebijakan yang sebanding, maka suami istri akan hidup dengan saling mengerti sehingga masalah rumah tangga yang sedang dihadapi dapat dipecahkan bersama. Namun untuk menemukan pasangan yang serasi se ia dan sekata adalah sukar sekali, temyata banyak pasangan suami-istri memiliki sifat atau perangai yang tak sama. Dengan kata lain perangai pasangan suami istri adalah berlainan satu dengan lainnya.
Terdapat empat macam pasangan perkawinan, yaitu: (1) raksasa dan raksesi, suami istri meru­pakan pasangan yang hina dan berkelakuan buruk; (2) raksasa dan dewi, suami berkelakuan buruk sedang istri berbudi luhur atau berketakuan baik; (3) dewa dan raksesi, suami yang berkelakuan baik hidup dengan istri yang buruk laku; (4) dewa dan dewi, pasangan yang sama-sama mulia karena berkelakuan baik. Suduh tentu pcrkawinan dewa dan dewi yang berbahagia, yang dipuji oleh Buddha (A.II.57-58). Perkawinan yang dipertimbangkan matang-matang, direncanakan dan diper­siapkan dengan baik, diharapkan membuahkan bentuk perkawinan dewa-dewi.
Buddha mengelompokkan para istri menurut wataknya. Terdapat tujuh macam istri yakni (1) is­tri yang mirip pembunuh, yang jahat pikirannya, kejam, melalaikan suami atau scrong; (2) istri yang menyerupai perampok, yang mencuri atau menghamburkan pendapatan suami; (3) istri gula-gula, yang rakus, penggunjing, cengeng dan membuat suami malas (4) istri yang menyerupai seorang ibu, yang penuh kasih, merawat dan menjaga suaminya; (5) istri yang menyerupai saudara, seperti adik yang memperlakukan kakaknya dengan hormat; (6) istri yang menyerupai teman, kekasih pujaan yang penuh cinta; (7) istri yang mirip pelayan, yang patuh, memikul beban dengan pasrah, bahkan tabah menghadapi amarah suami. Tentu saja istri jenis pembunuh, perampok, dan gula-gula itu tidak terhormat, tidak bermoral, sehingga membawa penderitaan (A.IV. 91). Gambaran mengenai istri, sebaliknya pula dapat diberlakukan pada pria.
Karakteristik yang tak terbina baik akan merugikan suaminya, bertingkah laku buruk, bermalas-malas, menghindari suaminya di tempat tidur, patuh pada kata-kata orang lain, menghambur-hamburkan kekayaan keluarga,  senang  bergaul  intim  dengan  tetangga namun tidak menghiraukan, menghormati suami, senang mendatangi tempat-tempat umum tanpa disertai suami, atau mendatangi rumah kenalan atau handai taulan (sendiri), memakai perhiasan pemberian orang lain, senang bermabuk-mabukan, dan berdiri di pintu memandangi orang lain (Jt.V).
    Sumber lain mengisahkan, ketika seorang suami menderita sakit keras, istrinya menghibur suaminya dengan mengatakan bahwa mati dengan hati gundah akan berakibat tidak baik, dan bahwa bila ia meninggal, si istri mampu memelihara anak-anak mereka dan meneruskan penghidupan keluarga. Ia menyatakan bahwa ia tak akan menikah lagi, dan akan meningkatkan keyakinan terhadap Sang Triratna, menjalankan sila, bermeditasi… dan menjalankan rumah-tangga sesuai ajaran Sang Buddha. Ternyata kemudian sang  suami  sembuh kembali; dan ketika dilaporkannya peristiwa itu kepada Sang Buddha, beliau bersabda:
"... Sungguh beruntung engkau, orang baik,  engkau mempunyai istri yang baik,  menasihatimu, menjadi gurumu, dan batinnya penuh kasih sayang serta hasrat yang  tulus untuk kesejahteraanmu..." (A.III).
     Beberapa simpulan (1) melihat   bahwa  keakraban yang   mendalam dalam hubungan suami-istri berdasarkan pada penghayatan hidup yang berakar pada penghayatan moral. (2) Menempuh kehidupan rumah-tangga nilai-nilai moral dan spiritual tidak   boleh diletakkan   dibelakang pertimbangan seksual atau ekonomis. (3) Sekalipun  suami  merupakan  kepala  dan  tulang-punggung keluarga, istri pun harus sanggup melakukan, dan memainkan peranan sosialnya sebagai  istri  yang baik,  yang idealnya telah diuraikan di atas.
Kepada gadis-gadis yang ingin berkeluarga, Sang Buddha mengajarkan kewajiban seorang istri yaitu:
1.      istri harus bangun lebih dahulu dari suami; dengan sukarela  menolong. suami;  bertingkah laku menyenangkan dan berbicara secara bersahabat;
2.      menghormati orang-orang  yang  dihormati oleh suami, seperti orang tua dan orang-orang suci, menerimanya kalau mereka datang ke rumah;
3.      terampil   dan cekatan dalam   pekerjaan   suami, mempelajari seluk-beluknya, dan mampu mengatur, melaksanakan dan menyelesaikannya;
4.      mampu mengolah rumah-tangga beserta seluruh penghuninya, agar kebutuhan masing-masing terpenuhi atau setiap orang mendapat sesuai dengan bagiannya;
5.      dapat mengamankan harta kekayaan dan pendapatan suami, dan tidak berbuat seperti perampok, pencuri atau penggelap. (A.III)
     Sabda Sang Buddha: "... Para istri yang memiliki sifat-sifat yang talah disebutkan akan memiliki kekuasaan dan keberhasilan di dunia ini, dan dunia berada dalam genggaman tangannya." (A.269)
Mencermati uraian yang talah dijelaskan nampaknya cita-cita sosial Buddhis mengutamakan pria di atas wanita, bahwa pria lebih tinggi daripada wanita, dan dengan demikian menolak persamaan antara pria  dan  wanita. Sesungguhnya  yang  dipersoalkan tersebut bukanlah siapa yang lebih tinggi atau lebih randah, melainkan peran masing-masing dalam keluarga. Bahwa suami  adalah kepala  atau pemimpin  keluarga jelas terlihat dalam masyarakat Buddhis maupun masyarakat lain. Namun masing-masing  pihak tidak lepas  dari hak, kewajiban dan tanggung-jawab masing-masing. Seorang istri yang baik disebut  "devi", dan suami yang baik disebut "deva", dan bila  mereka berdua memiliki panna (kebijaksanaan) yang sebanding seperti yang telah diuraikan di atas, maka niscaya bagi mereka tidak akan timbul perasaan bahwa suami lebih tinggi kedudukannya atau sebaliknya. Sebab dengan adanya panna maka saling mengerti dapat terbina dan keluarga yang rukun dapat dibentuk.
Mengenai suami, secara umum Sang Buddha mengatakan bahwa seorang yang menyokong orang tua, istri dan anak, bekerja untuk kebaikan keluarga dan masyarakat luas, dapat disebut sebagai "seorang yang baik dan berharga". (S.I.228; A.IV.224)
Kitab Jataka disebutkan tentang delapan hal yang menyebabkan suami dibenci oleh istrinya sendiri yaitu: miskin, sakit-sakitan, tua, bermabuk-mabuk, bodoh, kurang perhatian, terlalu sibuk, dan menghambur-hamburkan uang. (Jt.V.433).
Secara positif para suami dianjurkan untuk memelih arah istri mereka dengan cara bersikap manis, menghormatinya, tidak membencinya, setia kepadanya, memberikan wewenang kepadanya, menghadiahkan perhiasan dan lain-lain kepadanya; (D.III.l90)
     Selanjutnya, suami harus berbicara ramah kepada istrinya;  membantunya dalam segala pekerjaan;  membawanya mengunjungi upacara dan pesta-pesta; mendorongnya untuk melakukan upacara-upacara keagamaan; dan menasihatinya dalam hal kebaikkan. (Kh.138).
    Mempertahankan keutuhan rumah-tangga, sangat perlu adanya faktor saling percaya mempercayai, karena apabila hal ini berkurang maka titik-titik permulaan keretakan akan muncul dalam bentuk curiga mencurigai. Mencurigai adalah sifat mental yang kurang baik, yang biasanya muncul karena kelemahannya sendiri sebab ketidaktahuan atau kurang mengetahui persoalan yang dihadapi. Kemampuan yang kurang ini, kemudian mendengar cerita orang lain tentang keadaan istri atau suami atau mungkin karena melihat prilaku suami atau istri sendiri yang mengakibatkan pikiran buruk terjadi.
Sang Buddha menjelaskan sebab musabab dari curiga dibahas dalam Anguttara Nikaya, sebagai berikut: (1) mencurigai  seseorang  karena  cinta  kepadanya (chandagati), (2) mencurigai seseorang karena tidak   senang atau membenci orang itu (dosagati), (3) mencurigai  seseorang karena kebodohan atau ketidaktahuan mengenai orang itu (mohagati), (4) mencurigai seseorang karena merasa takut kepada orang itu (bhayagati) (A.II).
Menurut Ajaran Buddha, suatu keluarga seorang suami boleh  mengharapkan hal-hal berikut dari isterinya: cinta, perhatian, kewajiban keluarga, kesetiaan, pengurusan anak, tabungan, penyediaan makanan, penghiburan saat ia lagi kecewa, kemanisan sikap.

Sebagai balasannya, seorang isteri berhak mendapatkan hal-hal berikut dari suaminya: kelembutan, rasa hormat, kesempatan bermasyarakat, keamanan, keadilan, kesetiaan, kejujuran, persahabatan, dukungan moral,

     Selain aspek-aspek emosional dan psikologis, pasangan suami-isteri mengatur keadaan hidup sehari-hari, keuangan rumah-tangga, dan kewajiban-kewajiban sosial. Tukar pikiran antara suami dan isteri mengenai semua persoalan rumah tangga akan membantu menciptakan atmosfir rumah-tangga yang penuh pengertian dan saling mempercayai, memecahkan persoalan apa saja yang mungkin tumbuh.
      Menjalani hidup dengan apa adanya dan puas dengan apa yang ada, bisa dijadikan sebagai salah satu alternatif jawaban, di samping: (1) Tidak membuat perbandingan dan perhitungan dengan orang lain. (2) Tidak menyesali diri dan menyalahkan orang lain. (3) Tidak mencelakai orang lain dan mencari-cari alasan demi pembenaran diri. (4) Tidak tamak, tidak dengki dan iri. (5) Tidak rendah diri dan tidak mudah berputus asa, caranya  dengan berfikir positif tentang diri sendiri dengan langkah-langkah (a) Tanamkan pada diri sendiri bahwa diri sendiri orang yang paling bahagia di dunia ini. (b) Tanamkan pada diri sendiri bahwa diri sendiri orang yang sempurna. (c) Tanamkan pada diri sendiri bahwa diri sendiri orang yang berkecukupan. (d) Tanamkan juga bahwa kita "the best person in this world".  (6) Tidak mempunyai prasangka dan berhati lurus.