Minggu, 27 Januari 2013

KESERAKAHAN DAN KEBODOHAN BATIN PEMBENTUK KORUPSI

Persepektif Buddhist
Oleh Nuryanto, S.Ag

Korupsi adalah permasalahan besar yang masih membelenggu masyarakat Indonesia. Korupsi telah ada sejak lama dan telah berakar kuat pada masyarakat Indonesia. Namun, bukan berarti sebagai manusia beradab hanya menutup mata terhadap masalah korupsi sebagai jalan keluarnya.
Dasar seseorang melakukan korupsi adalah keserakahan (lobha) dan berakar pada kebodohan-batin (moha). Buddha bersabda “Sungguh bahagia jika kita hidup tanpa keserakahan di antara orang-orang yang serakah; di antara orang-orang yang serakah, kita hidup tanpa keserakahan” (Dh.199). Di lain kesempatan Buddha bersabda kepada para siswanya “Yang lebih buruk dari semua noda adalah kebodohan. Kebodohan merupakan noda paling buruk. O, para bhikkhu, singkirkanlah noda ini dan hiduplah tanpa noda” (Dh.243). Jika seseorang memiliki pandangan yang benar, niscaya tidak akan bertindak bodoh. Menyadari bahwa segala sesuatu, baik materi maupun non-materi adalah tidak kekal atau selalu berubah-ubah (anicca). Dengan menyadari hukum alam tersebut, siapa pun akan berpikir lebih jernih dan nyata sehingga tidak akan bertindak bodoh. Walaupun bersumber pada diri sendiri, lingkungan juga mempunyai andil yang sangat besar dalam pembentukan karakteristik seorang manusia.
Lingkungan yang buruk, banyaknya korupsi, akan menarik seseorang jatuh ke jurang kejahatan jika tidak memiliki kebijaksanaan (panna). Lingkungan buruk yang dimaksudkan ditekankan pada pergaulan dengan teman-teman yang kurang baik, dalam hal ini korupsi, yang mungkin bisa memengaruhi seseorang menjadi buruk juga, walaupun pada akhirnya kembali kepada dirinya sendiri. Biasanya banyak terpengaruh oleh lingkungan, jadi berhati-hatilah dan selalu bijaksana.
Salah satu aturan-moralitas Buddhis (sila) dalam lima aturan-moralitas Buddhis (pancasila) yang perlu dihindari oleh umat Buddha adalah menahan diri dari mengambil barang-barang yang tidak diberikan pemiliknya. Mengambil barang-barang yang tidak diberikan pemiliknya termasuk antara lain: mencuri, merampok, atau pun korupsi. Korupsi bisa dikatakan melanggar aturan-moralitas Buddhis (sila) ke dua dari lima aturan-moralitas Buddhis (pancasila), dikarenakan memenuhi syarat-syarat pelanggaran sila ke-2, adanya subjek (pelaku), keinginan mencuri, objek (Negara, perusahaan, masyarakat, dsb) dan kejadian nyata perpindahan kepemilikan (hasil yang diambil).
Korupsi termasuk melanggar aturan-moralitas Buddhis (sila) ke dua dan akan mengkondisikan seseorang melanggar aturan moralitas Buddhis (sila) ke-4 (menahan diri dari ucapan yang tidak benar atau berbohong) dikarenakan ketika seseorang melakukan korupsi, ia telah ‘mencuri’ dan akan mengondisikannya berbohong untuk menyembunyikan perbuatannya.
Buddha menjelaskan 4 macam Ditthadhammikatthapayojana (hal-hal berguna pada saat sekarang), yaitu menganjurkan seseorang untuk rajin,  bersemangat, mencari nafkah dengan cara yang benar, dan pergaulan yang baik sehingga tidak mudah terjerumus ke lingkungan yang buruk (A.iv.285). Dengan sikap hidup yang penuh semangat dan rajin, tentunya seseorang tidak akan mudah untuk melakukan tindakan korupsi. Jadi mulailah giat untuk bekerja dan selalu bersemangat, sehingga tidak mudah berbuat hal-hal seperti itu. Selain sikap hidup yang rajin dan bersemangat, seseorang juga dituntut mempunyai rasa malu untuk berbuat jahat (hiri) dan rasa takut akan akibat perbuatan jahat (otapa). Dengan memiliki rasa malu dan rasa takut untuk berbuat yang tidak baik, seseorang akan berpikir dua kali untuk melakukan tindakan yang buruk korupsi.
Buddha menjelaskan, bahwa mata pencaharian akan menjadi tidak benar ketika mata pencahariannya dimanfaatkan untuk: menipu (kuhana), membual (lapana), memeras (nemittakata), menggelapkan (nippesikata), merampok agar mendapat hasil yang banyak (labha) (M.117). Buddha menjelaskan bahwasanya cara dalam mencari kekayaan tidak boleh seperti itu. Korupsi bisa dikatakan telah memenuhi kelima hal tersebut di atas, sehingga perbuatan yang dilakukannya tersebut bisa jadi akan mencemarkan profesi yang ditekuninya dan mungkin berakibat ketidakpercayaan orang-orang terhadap profesi tersebut. Selain dari dalam diri sendiri, yang perlu dikembangkan untuk menahan laju perkembangan korupsi adalah dengan memberikan pandangan yang benar kepada orang lain dan membuat interaksi yang positif dimulai dari diri sendiri. Dengan demikian akan terbentuk lingkungan yang kondusif yang bebas dari sikap hidup korupsi, sehingga akan meningkatkan rasa malu dan rasa takut dalam berbuat korupsi.
Akibat dari tindakan korupsi dapat dilihat dari dua aspek, antara lain:  1) pelaku (orang yang melakukan korupsi), akan berakibat rasa bersalah atau takut karena telah berbuat jahat dan rasa malu karena telah bertindak tidak benar, 2) lingkungan (di luar pelaku, bisa keluarga, masyarakat,dsb), yang berakibat rasa malu keluarga pelaku korupsi dan kerugian secara materi bagi Negara, perusahaan, atau masyarakat.


Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta
Semoga semua makhluk berbahagia
Sadhu (semoga demikian adanya) 3x

Tidak ada komentar:

Posting Komentar