Oleh : Nyanasuryanadi Mahathera
Pendidikan
dalam tradisi Pali, diperoleh dari terminologi 'sikkha' atau siksā
(Sanskrit), secara umum menyiratkan bahwa pendidikan merupakan proses belajar,
pelatihan, mempelajari, pengembangan, dan pencapaian pencerahan (insight) (Vin.IV.23). Secara
natural termasuk latihan moral yang tinggi (sīla),
konsentrasi (samadhi), dan
kebijaksanaan atau pengetahuan (paññä)
(A.I.231) apabila dikombinasikan
dengan kata 'pada' menjadi 'sikkhāpada,' yaitu aturan bidang
pendidikan, yang mana secara normal dikenal sebagai 'sekhapatipada', berarti pelatihan bagi pelajar (M.I.354). Proses perhatian berkesinambungan bidang pendidikan
mempunyai karakter fungsional dalam latihan atau instruksi, pencapaian atau
praktek dan kemajuan secara bertahap (anupubbasikkha
anupubbakiriyā anupubbapatipadā) (M.134;
D.I.63). Memberikan yang benar kepada peserta didik, petunjuk awal yang
mulia dalam berbagai lapisan hidup dan pengertian mendalam ke dalam usaha,
mengajarkan bagaimana cara berbuat yang benar, hidup sukses, bahagia, dan
membimbing ke arah kemajuan yang menguasai semuanya, sejahtera dan makmur (Kp.134),
mengembangan kepribadian yang baik dengan perilaku dan pengetahuan
sempurna (D.I.124), dan mengakhiri
penderitaan, serta selamat (It.40,53,104;
A.I.231).
Pendidikan memerlukan
kematangan dan suksesnya tiga faktor atau model komplementer, yaitu: model
utama dari belajar literatur secara akademis atau berkaitan dengan ajaran
Buddha (pariyatti, kemampuan, performansi), kemudian model praktis dari apa
yang secara akademis diajarkan dan diingat dengan berusaha meletakkan ajaran ke dalam praktek
(patipatti, praktek, pencapaian), dan akhirnya keterampilan dalam bentuk
penetrasi, penguasaan, dan mewujudkan kebenaran (pativedha) (DhA.II.31; Vin.II.285; A.I.22, 44, 69;
A.III.86; A.V.127; D.III.253). Tiga sumber yang telah disebutkan akan
dipaparkan dalam sudut pandang: (1) Membelajarkan agar menjadi baik, peserta
didik akan memahami, menyimpan, mengingat, memecahkan, membiasakan diri,
mempertimbangkan dalam pikirannya dan merealisir teori (ditthiya) ajaran guru yang menyenangkan pada awal dan akhir, (M.I.213, 216; A.IV.151). (2) Memeriksa
dan meneliti arti dari pelajaran yang dibelajarkan dan diingat; dihubungkan
dengan diri sendiri dan diharapkan untuk kembangkan. Kemudian melaksanakan,
merealisasikan dalam aktivitas, berusaha keras mengujinya, mencoba, dan
akhirnya merealisasi sendiri dengan panca indera, menembus kebenaran secara
komprehensif (M.II.173). (3)
Peserta didik, setelah dibelajarkan dan dipandu dengan baik mengenali teks yang
berhubungan dengan doktrin, maksud, dan
tujuan, menerapkan dalam pikiran kearah apa yang didengar dan dipelajari (yathāsutam), melaksanakan meditasi
secara terus-menerus dan menjadi
terbiasa kontemplasi dalam pikiran, menyerap beberapa obyek konsentrasi dengan
baik, pemusatan pikiran, secara penuh memusatkan pikiran dan menembusnya dengan
kebijaksanaan (D.III.242).
Selama empat puluh lima
tahun Buddha membabarkan jalan pembebasan. Beliau dikenal sebagai guru para
dewa dan manusia (sattha devamanussanam
dan pernbimbing manusia. Disiplin moral (sīla),
meditasi (samādhi) dan kebijaksanaan
(pañña) yang dicapai berdasarkan
perealisasian keadaan sebenarnya dan kehidupan merupakan dasar dan Jalan yang
diajarkan Beliau. Hal ini dihubungkan belajar seumur hidup dan meditasi yang
ditujukan pada latihan dan mengendalikan pikiran (batin).
Landasan Filosofi pendidikan dalam agama Buddha mengacu pada empat
kebenaran Mulia (cattari ariya saccani),
yaitu mengidentifikasi dukkha, asal
mula dukkha, lenyapnya dukkha dan jalan mengakhiri dukkha. Melalui formulasi ini Buddha memberi petunjuk
bagaimana sebaiknya mengatasi masalah secara sistematis. Berdasar rumusan
Empat Kebenaran Mulia Kowit Vorapipatana mengembangkan konsep Khit-Pen yang artinya ‘berpikir,
mengada’ (to think, to be) atau ‘mampu berpikir’ (to be able to think) untuk
menggambarkan strategi pengajaran yang mencakup berpikir secara kritis dan
kecakapan memecahkan masalah.
Masalah sentral dalam pandangan Buddha adalah
penderitaan manusia. Penderitaan bersumber pada keinginan yang rendah (tanha). Keinginan sendiri timbul
tergantung pada faktor lain yang mendahuluinya. Dalam merumuskan rangkaian
sebab musabab yang saling bergantungan (paticcasamuppada),
Buddha menempatkan di urutan pertama kebodohan (avijja). “Yang lebih buruk dari semua noda itu adalah kebodohan.
Kebodohan merupakan noda yang paling buruk. Para Bhikkhu, singkirkan noda ini dan jadilah orang
yang tak bernoda” (Dhp. 243).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar