Rabu, 09 Januari 2013

Filsafat Pendidikan Agama Buddha

Oleh : Nyanasuryanadi Mahathera
 
Pendidikan dalam tradisi Pali, diperoleh dari terminologi 'sikkha' atau siksā (Sanskrit), secara umum menyiratkan bahwa pendidikan merupakan proses belajar, pelatihan, mempelajari, pengembangan, dan pencapaian pencerahan (insight) (Vin.IV.23). Secara natural termasuk latihan moral yang tinggi (sīla), konsentrasi (samadhi), dan kebijaksanaan atau pengetahuan (paññä) (A.I.231) apabila dikombinasikan dengan kata 'pada' menjadi 'sikkhāpada,' yaitu aturan bidang pendidikan, yang mana secara normal dikenal sebagai 'sekhapatipada', berarti pelatihan bagi pelajar (M.I.354). Proses perhatian berkesinambungan bidang pendidikan mempunyai karakter fungsional dalam latihan atau instruksi, pencapaian atau praktek dan kemajuan secara bertahap (anupubbasikkha anupubbakiriyā anupubbapatipadā) (M.134; D.I.63). Memberikan yang benar kepada peserta didik, petunjuk awal yang mulia dalam berbagai lapisan hidup dan pengertian mendalam ke dalam usaha, mengajarkan bagaimana cara berbuat yang benar, hidup sukses, bahagia, dan membimbing ke arah kemajuan yang menguasai semuanya, sejahtera dan makmur (Kp.134),  mengembangan kepribadian yang baik dengan perilaku dan pengetahuan sempurna (D.I.124), dan mengakhiri penderitaan, serta selamat (It.40,53,104; A.I.231).

Pendidikan memerlukan kematangan dan suksesnya tiga faktor atau model komplementer, yaitu: model utama dari belajar literatur secara akademis atau berkaitan dengan ajaran Buddha (pariyatti, kemampuan, performansi), kemudian model praktis dari apa yang secara akademis diajarkan dan diingat dengan  berusaha meletakkan ajaran ke dalam praktek (patipatti, praktek, pencapaian), dan akhirnya keterampilan dalam bentuk penetrasi, penguasaan, dan mewujudkan kebenaran (pativedha) (DhA.II.31; Vin.II.285; A.I.22, 44, 69; A.III.86; A.V.127; D.III.253). Tiga sumber yang telah disebutkan akan dipaparkan dalam sudut pandang: (1) Membelajarkan agar menjadi baik, peserta didik akan memahami, menyimpan, mengingat, memecahkan, membiasakan diri, mempertimbangkan dalam pikirannya dan merealisir teori (ditthiya) ajaran guru yang menyenangkan pada awal dan akhir, (M.I.213, 216; A.IV.151). (2) Memeriksa dan meneliti arti dari pelajaran yang dibelajarkan dan diingat; dihubungkan dengan diri sendiri dan diharapkan untuk kembangkan. Kemudian melaksanakan, merealisasikan dalam aktivitas, berusaha keras mengujinya, mencoba, dan akhirnya merealisasi sendiri dengan panca indera, menembus kebenaran secara komprehensif (M.II.173). (3) Peserta didik, setelah dibelajarkan dan dipandu dengan baik mengenali teks yang berhubungan dengan doktrin,  maksud, dan tujuan, menerapkan dalam pikiran kearah apa yang didengar dan dipelajari (yathāsutam), melaksanakan meditasi secara  terus-menerus dan menjadi terbiasa kontemplasi dalam pikiran, menyerap beberapa obyek konsentrasi dengan baik, pemusatan pikiran, secara penuh memusatkan pikiran dan menembusnya dengan kebijaksanaan (D.III.242).

Selama empat puluh lima tahun Buddha membabarkan jalan pembebasan. Beliau dikenal sebagai guru para dewa dan manusia (sattha devamanussanam dan pernbimbing manusia. Disiplin moral (sīla), meditasi (samādhi) dan kebijaksanaan (pañña) yang dicapai berdasarkan perealisasian keadaan sebenarnya dan kehidupan merupakan dasar dan Jalan yang diajarkan Beliau. Hal ini dihubungkan belajar seumur hidup dan meditasi yang ditujukan pada latihan dan mengendalikan pikiran (batin).

Landasan Filosofi pendidikan dalam agama Buddha mengacu pada em­­pat kebenaran Mulia (cattari ariya saccani), yaitu mengidenti­fika­si dukkha, asal mula dukkha, lenyapnya dukkha dan jalan meng­akhiri du­kkha. Melalui formulasi ini Buddha memberi petunjuk bagai­mana sebaik­nya mengatasi masalah secara sistematis. Berdasar rumusan Empat Ke­be­naran Mulia Kowit Vorapipatana mengembangkan kon­sep Khit-Pen yang artinya ‘berpikir, mengada’ (to think, to be) atau ‘mampu ber­pikir’ (to be able to think) untuk menggambarkan strategi peng­ajaran yang mencakup berpikir secara kritis dan kecakapan me­me­cahkan masalah.
 
Masalah sentral dalam pandangan Buddha adalah penderitaan ma­nusia. Penderitaan bersumber pada keinginan yang rendah (tanha). Keinginan sendiri timbul tergantung pada faktor lain yang men­da­huluinya. Dalam merumuskan rangkaian sebab musabab yang saling bergantungan (paticcasa­muppada), Buddha menempatkan di urutan pertama kebodohan (avijja). “Yang lebih buruk dari se­mua noda itu adalah kebodohan. Kebodohan merupakan noda yang paling buruk. Para Bhikkhu, singkir­kan noda ini dan jadilah orang yang tak bernoda” (Dhp. 243).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar