Oleh : Mahathera Nyanasuryanadi
Buddha memberikan nasihat kepada seorang istri dan suami:
1.
Isteri
Saat memberikan nasihat kepada seorang
wanita berkenaan dengan peranannya dalam keluarga, Buddha menyatakan bahwa
kedamaian dan keharmonisan keluarga lebih banyak tergantung pada isteri. Nasihat yang
diberikanNya sungguh realistis
dan praktis, berupa sejumlah perilaku sehari-hari yang pantas dan tidak
pantas dilakukan oleh seorang isteri,
yaitu:
a)
tidak menumbuhkan pikiran-pikiran yang kurang baik tentang
suaminya;
b)
tidak bersikap kasar, kejam dan
menguasai;
c)
tidak boros, sebaliknya harus
hemat dan hidup sewajamya;
d)
menjaga dan menyimpan hasil kerja
keras dan harta suaminya;
e)
selalu memberikan
perhatian serta pertimbangan dalam berpikir dan berbuat;
f)
setia dan tidak menumbuhkan
pikiran-pikiran yang menghantar ke penye-lewengan;
g)
halus dalam tutur kata dan santun
dalam tingkah laku;
h)
penuh kasih sayang, rajin, dan kerja
sungguh-sungguh;
i)
penuh perhatian dan belas-kasih
kepada suaminya dan sikapnya mesti setara dengan cinta kasih seorang ibu
terhadap anak satu-satunya;
j)
rendah hati dan penuh rasa hormat;
k)
sejuk, tenang dan penuh pengertian
melayani tidak hanya sebagai isteri tetapi juga sebagai seorang teman dan
penasihat, saat diperlukan.
Padahal dijaman itu guru-guru
religius yang lain lebih menekankan tugas seorang isteri sebagai pemberi
keturunan bagi suaminya, melayani dengan tulus, dan membahagiakan suaminya.
Pada masyarakat tertentu, kelahiran seorang anak laki-laki sangat dipentingkan.
Ada kepercayaan bahwa seorang anak lelaki diperlukan untuk memimpin upacara
kematian orang tuanya, supaya kehidupan mereka di alam selanjutnya menjadi
lebih baik. Kegagalan untuk memperoleh anak laki-laki dari isteri pertama,
memberikan kebebasan kepada seorang laki-laki untuk mengambil isteri lagi.
Agama Buddha menolak kepercayaan seperti itu.
Perlakuan yang diterimanya dari seorang suami yang baik,
berdasarkan Sigalovada Sutta seorang isteri yang mencintai suaminya mempunyai
kewajiban sebagai berikut: (1) melakukan semua tugas kewajibannya dengan baik,
(2) bersikap ramah kepada keluarga dad kedua belah pihak, (3) setiap kepada
suaminya, (4) menjaga baik-baik barang-barang yang dibawa oleh suaminya, (5)
pandai dan rajin dalam melaksanakan semua pekerjaannya (D.III.190).
Ketika Visaka ingin menikah, ayahnya memberikan nasehat
sebagai berikut (Dhammapada Atthakatha, Buddhist Legends jilid II.72-73): (1) Jangan membawa keluar api
yang berada di dalam rumah. (2) jangan memasukkan api dari luar ke dalam rumah,
(3) memberi hanya kepada mereka yang memberi, (4) jangan memberi kepada mereka
yang tidak memberi, (5) memberi kepada mereka yang memberi dan tidak memberi,
(6) duduk dengan bahagia, (7) makan dengan bahagia, (8) tidur dengan babagia,
(9) rawatlah api dalam rumah, (10) hormatilah dewata keluarga.
Menurut apa yang diajarkan Buddha sebagai Hukum Karma,
seseorang bertanggung-jawab atas tindakannya sendiri. Apakah yang dilahirkan
itu seorang anak laki-laki atau seorang
anak perempuan tidak ditentukan oleh (calon) ayah atau ibunya, tetapi
oleh karma dari (calon) anak tersebut. Kehidupan selanjutnya
dari seorang kakek atau ayah tidak ditentukan oleh anak cucu.
Masing-masing bertanggung-jawab atas perbuatannya sendiri.
Jadi, sungguh bodoh jika seorang pria
menyalahkan isterinya atau merasa belum lengkap kalau belum mendapatkan seorang
anak laki-laki. Ajaran Buddha menolong orang mernperbaiki pandangan salah, dan
dengan sendirinya mengurangi kesengsaraan kaum wanita yang tidak melahirkan
anak lelaki. Buddha telah mengemukakan gagasan yang begitu modern. Selain
kewajiban seorang isteri, dengan jelas Beliau juga menjelaskan
kewajiban-kewajiban seorang suami terhadap isterinya.
2.
Suami
Suami sebagai kepala keluarga wajib
memiliki penghasilan yang secukupnya agar dapat memenuhi segala kebutuhan
keluarganya. Ia wajib membahagiakan anak dan isterinya di samping menyokong dan
merawat kedua orang tuanya yang masih hidup. Kepada orang tua dan leluhur yang
sudah meninggal maka ia wajib melakukan Pattidana (Melakukan
perbuatan-perbuatan jasa yang kemudian dmlimpahkan kepada para almarhum
tersebut).
Agar seorang suami tidak dibenci oleh isterinya maka ia
wajib rajin bekerja agar tidak jatuh miskin, wajib memelihara kesehatan agar
tidak sakit-sakitan, wajib menghindarkan minuman keras agar tidak
mabuk-mabukan, wajib banyak belajar agar tidak bodoh, wajib bersikap telaten
dan perduli agar tidak mengabaikan isterinya, jangan terlalu sibuk dan dapat
membagi waktunya untuk isteri, wajib berhemat dan tidak menghambur-hamburkan
uang (Jt.V.433)
Buddha menjawab pertanyaan bagaimana seharusnya seorang
suami memperlakukan isterinya menyatakan bahwa seorang suami harus menghargai dan menaruh hormat pada isterinya,
dengan menjaga kesetiaannya, dengan memberi isterinya keleluasaan dalam
mengatur urusan rumah-tangga, dan dengan memberinya segala kebutuhan yang
diperlukan.
Sifat laki-laki untuk meletakkan dirinya lebih tinggi
dari pada wanita. Mengetahui hal ini, Buddha memelopori perubahan radikal dan
mengangkat harkat wanita dengan anjuran sederhana yaitu para suami hendaknya
menghormati dan menghargai isteri mereka. Bersikap lemah lembut terhadap
isterinya. Seorang suami harus setia kepada isterinya. Memberikan kekuasaan
tertentu kepada isterinya. Memberikan atau menghadiahkan perhiasan kepada
isterinya (D.III.190). Artinya ia mesti memenuhi dan
menjalankan kewajibannya terhadap isteri, di dalam kehidupan berumah-tangga.
Hanya dengan cara demikian, kebersamaan di dalam perkawinan dapat
dipertahankan.
Kepala keluarga wajib
memiliki (1) kejujuran dan selalu menepati janji kepada orang lain (sacca), (2) pengendalian pikiran yang
baik (dama), (3) kesabaran dalam
menghadapi setiap persoalan sulit (khanti),
(4) kemurahan hati terhadap mereka yang pantas untuk diberi (caga)(S.I.215).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar