Rabu, 09 Januari 2013

Nasihat Buddha untuk Keluarga


Oleh : Mahathera Nyanasuryanadi

 Buddha memberikan nasihat kepada seorang istri dan suami:
1. Isteri
Saat memberikan nasihat kepada seorang wanita berkenaan dengan peranannya dalam keluarga, Buddha menyatakan bahwa kedamaian dan keharmonisan keluarga lebih banyak tergantung pada isteri.  Nasihat yang  diberikanNya sungguh realistis  dan praktis, berupa sejumlah perilaku sehari-hari yang pantas dan tidak pantas dilakukan oleh  seorang isteri, yaitu:
a)      tidak menumbuhkan  pikiran-pikiran yang kurang baik tentang suaminya;
b)      tidak bersikap kasar, kejam dan menguasai;
c)      tidak boros, sebaliknya harus hemat dan hidup sewajamya;
d)     menjaga dan menyimpan hasil kerja keras dan harta suaminya;
e)      selalu  memberikan  perhatian  serta  pertimbangan dalam berpikir dan berbuat;
f)       setia dan tidak menumbuhkan pikiran-pikiran yang menghantar ke penye-lewengan;
g)      halus dalam tutur kata dan santun dalam tingkah laku;
h)      penuh kasih sayang, rajin, dan kerja sungguh-sungguh;
i)        penuh perhatian dan belas-kasih kepada suaminya dan sikapnya mesti setara dengan cinta kasih seorang ibu terhadap anak satu-satunya;
j)        rendah hati dan penuh rasa hormat;
k)      sejuk, tenang dan penuh pengertian melayani tidak hanya sebagai isteri tetapi juga sebagai seorang teman dan penasihat, saat diperlukan.
Padahal dijaman itu guru-guru religius yang lain lebih menekankan tugas seorang isteri sebagai pemberi keturunan bagi suaminya, melayani dengan tulus, dan membahagiakan suaminya. Pada masyarakat tertentu, kelahiran seorang anak laki-laki sangat dipentingkan. Ada kepercayaan bahwa seorang anak lelaki diperlukan untuk memimpin upacara kematian orang tuanya, supaya kehidupan mereka di alam selanjutnya menjadi lebih baik. Kegagalan untuk memperoleh anak laki-laki dari isteri pertama, memberikan kebebasan kepada seorang laki-laki untuk mengambil isteri lagi. Agama Buddha menolak kepercayaan seperti itu.
Perlakuan yang diterimanya dari seorang suami yang baik, berdasarkan Sigalovada Sutta seorang isteri yang men­cintai suaminya mempunyai kewajiban sebagai berikut: (1) melakukan semua tugas kewajibannya dengan baik, (2) bersikap ramah kepada keluarga dad kedua belah pihak, (3) setiap kepada suaminya, (4) menjaga baik-baik barang-barang yang dibawa oleh suaminya, (5) pandai dan rajin dalam melaksanakan semua pekerjaannya (D.III.190).
Ketika Visaka ingin menikah, ayahnya memberikan nasehat sebagai berikut (Dhammapada Atthakatha, Buddhist Legends jilid II.72-73): (1) Jangan membawa keluar api yang berada di dalam rumah. (2) jangan memasukkan api dari luar ke dalam rumah, (3) memberi hanya kepada mereka yang memberi, (4) jangan memberi kepada mereka yang tidak memberi, (5) memberi kepada mereka yang memberi dan tidak memberi, (6) duduk dengan bahagia, (7) makan dengan bahagia, (8) tidur dengan babagia, (9) rawatlah api dalam rumah, (10) hormatilah dewata keluarga.
Menurut apa yang diajarkan Buddha sebagai Hukum Karma, seseorang bertanggung-jawab atas tindakannya sendiri. Apakah yang dilahirkan itu seorang anak laki-laki atau seorang  anak perempuan tidak ditentukan oleh (calon) ayah atau ibunya, tetapi oleh karma dari (calon) anak tersebut. Kehidupan  selanjutnya  dari seorang kakek atau ayah tidak ditentukan oleh anak cucu. Masing-masing bertanggung-jawab atas perbuatannya sendiri.
Jadi, sungguh bodoh jika seorang pria menyalahkan isterinya atau merasa belum lengkap kalau belum mendapatkan seorang anak laki-laki. Ajaran Buddha menolong orang mernperbaiki pandangan salah, dan dengan sendirinya mengurangi kesengsaraan kaum wanita yang tidak melahirkan anak lelaki. Buddha telah mengemukakan gagasan yang begitu modern. Selain kewajiban seorang isteri, dengan jelas Beliau juga menjelaskan kewajiban-kewajiban seorang suami terhadap isterinya.

2. Suami
Suami sebagai kepala keluarga wajib memiliki peng­hasilan yang secukupnya agar dapat memenuhi segala kebutuhan keluarganya. Ia wajib membahagiakan anak dan isterinya di samping menyokong dan merawat kedua orang tuanya yang masih hidup. Kepada orang tua dan leluhur yang sudah meninggal maka ia wajib melakukan Pattidana (Melakukan perbuatan-perbuatan jasa yang kemudian dmlimpahkan kepada para almarhum tersebut).
Agar seorang suami tidak dibenci oleh isterinya maka ia wajib rajin bekerja agar tidak jatuh miskin, wajib memelihara kesehatan agar tidak sakit-sakitan, wajib menghindarkan minuman keras agar tidak mabuk-mabukan, wajib banyak belajar agar tidak bodoh, wajib bersikap telaten dan perduli agar tidak mengabaikan isterinya, jangan terlalu sibuk dan dapat membagi waktunya untuk isteri, wajib ber­hemat dan tidak menghambur-hamburkan uang (Jt.V.433)
Buddha menjawab pertanyaan bagaimana seharusnya seorang suami memperlakukan isterinya menyatakan bahwa seorang suami harus  menghargai dan menaruh hormat pada isterinya, dengan menjaga kesetiaannya, dengan memberi isterinya keleluasaan dalam mengatur urusan rumah-tangga, dan dengan memberinya segala kebutuhan yang diperlukan.
Sifat laki-laki untuk meletakkan dirinya lebih tinggi dari pada wanita. Mengetahui hal ini, Buddha memelopori perubahan radikal dan mengangkat harkat wanita dengan anjuran sederhana yaitu para suami hendaknya menghormati dan menghargai isteri mereka. Bersikap lemah lembut terhadap isterinya. Seorang suami harus setia kepada isterinya. Memberikan kekuasaan tertentu kepada isterinya. Memberikan atau menghadiahkan perhiasan kepada isterinya  (D.III.190). Artinya ia mesti memenuhi dan menjalankan kewajibannya terhadap isteri, di dalam kehidupan berumah-tangga. Hanya dengan cara demikian, kebersamaan di dalam perkawinan dapat dipertahankan.
Kepala keluarga wajib memiliki (1) kejujuran dan selalu menepati janji kepada orang lain (sacca), (2) pengendalian pikiran yang baik (dama), (3) kesabaran dalam menghadapi setiap persoalan sulit (khanti), (4) kemurahan hati terhadap mereka yang pantas untuk diberi (caga)(S.I.215).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar