Pendidikan adalah
penerusan nilai, pengetahuan, kemampuan, sikap dan tingkah laku; yang dalam
arti luas pendidikan merupakan hidup itu sendiri (dan belajar itu seumur
hidup), sebagai proses menyingkirkan kebodohan dan mendewasakan diri menuju
kesempurnaan. Pendefinisian ini mendekati pandangan sosiologis, antropologis
dan psikologis. Disiplin keilmuan lain mungkin saja memiliki rumusan yang
lebih khusus. Pendidikan merupakan usaha yang disengaja dan terencana untuk
menolong seseorang belajar dan bertanggungjawab, mengembangkan diri atau
mengubah perilaku, sehingga bermanfaat bagi kepentingan individu dan masyarakat.
Dengan memiliki pengetahuan, seseorang memiliki bekal untuk bekerja, dan
membantu atau melayani orang lain dengan baik (Wijaya-Mukti, 2003:304).
Tujuan umum
pendidikan tak berbeda dengan tujuan pembabaran agama sebagaimana yang diamanatkan
oleh Buddha kepada enam puluh orang Arahat. Mereka mengemban misi atas dasar
kasih sayang, demi kebaikan, membawa
kesejahteraan, keselamatan dan kebahagiaan bagi orang banyak (Vin.I.21). Karena mendatangkan
kebaikan ini, memiliki pengetahuan dan keterampilan merupakan berkah utama (Mangala-sutta).
Pendidikan agama
jelas menolong untuk menghentikan segala bentuk kejahatan. “Aku telah berhenti.
Engkau pun berhentilah,” seru Buddha kepada Angulimala (M. II. 99). ”Melihat kejahatan sebagai kejahatan, inilah ajaran
Dharma yang pertama. Setelah melihat kejahatan sebagai kejahatan, jauhilah
itu, singkirkan itu hingga bersih, bebaskan diri dari hal itu, inilah ajaran
Dharma yang kedua” (It. 33).
Idealnya,
pendidikan adalah prinsip sarana bagi pertumbuhan manusia, penting unutk tranformasi
kematangan peserta didik menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab. Namun
demikian saat ini, keduanya perkembangan dan pengembangan dunia, dapat dilihat
pada pendidikan formal sebagai permasalahan yang serius. Pembelajaran klasikal
telah menjadi bagian yang bersifat rutin dan sering mempertimbangkan sekolah
sebagai latihan kesabaran dibanding pembelajaran.
Kensepsi tujuan
pendidikan adalah berbeda secara konsisten dengan prinsip Buddha. Efisiensi
praktis mempunyai kedudukan dalam pendidikan Buddha, Buddhism mengemukakan
jalan tengah sebagai aspirasi spiritual
mulia tergantung kesehatan fisik dan jaminan materiil bagi masyarakat. Tetapi
untuk Buddhism dari sisi praktek pendidikan harus terintegrasi (terpadu);
didesain sesuai kebutuhan untuk membawa potensi alami manusia menjadi matang
sesuai dengan apa yang diharapakan oleh Buddha. Di atas Semua, kebijakan bidang
pendidikan yang dipandu oleh prinsip Buddha bertujuan mesukkan nilai-nilai
sebagi imformasi penting. Hal itu diarahkan, tidak hanya ke arah mengembangkan
sosial dan ketrampilan komersil, tetapi ke arah pemeliharaan spiritual peserta
didik.
Dalam masyarakat
sekuler saat ini, pendidikan secara kelembagaan adalah di fokuskan untuk
menyiapakan arah karier peserta didik, di negara Buddhis seperti Sri Lanka
tanggung jawab utama untuk menyampaikan prinsip Dhamma kepada siswa secara
alami berada pada sekolah Dhamma. Pendidikan Buddhis dalam sekolah Dhamma harus
terkait di atas semua, dengan tranformasi karakter pribadi. Karakter pribadi
dibentuk oleh nilai-nilai, dan menumbuhkan semangat nilai-nilai inspirasi yang
ideal, tugas pertama untuk membentuk pendidik Buddhis adalah menentukan sistem
ideal bidang pendidikan mereka. Jika kearah ditemukan ajaran Buddha ideal, ada
lima kualitas yang Buddha sering sampaikan berhubungan karakter peserta didik,
apakah bhikkhu atau perumah tangga. Lima kualitas adalah keyakinan (saddhä), kemoralan (síla), kedermawanan (cäga),
belajar (mendengan) (suta), dan
kebijaksanaan (paññä) (A.III.80) (Bodhi, 1997).
Manusia tidak bebas
nilai, tanpa nilai-nilai moral tidak mampu menghayati hidup lebih bail. Ilmu
pengatahuan pun tidak bebas nilai, dimana ilmu pengatahuan adalah hasil
pemikiran manusia dalam situasi dan kondisi tertentu yang dibangun oleh
seperangkat nilai. Menurut pembicaraan dengan Pangeran Abhaya, Buddha menyampaikan
hanya hal-hal yang benar, berdasar, membawa manfaat atau bertujuan baik, dan
sesuai pada waktunya yang tepat. Tidak menjadi soal apakah hal itu menyenangkan
atau tidak menyenangkan (M. I, 395). Ilmu
pengetahuan yang benar sebagaimana ajaran agama, dikembangkan berdasar manfaat atau tujuan
yang baik. Kemanfaatan tentu juga dipertimbangkan untuk menyeleksi materi
pendidikan. “Sepatah kata yang bermanfaat, yang membuat seseorang menjadi
tenang setelah mendengarnya, adalah lebih baik daripada seribu kata yang tak
bermanfaat” (Dh. 100). Buddha membandingkan
apa yang telah diajarkan-Nya dengan segenggam daun sinsapa, sedang kemahatahuan
seorang Buddha itu sebanyak daun di hutan. Apa yang segenggam atau yang
sedikit dapat digenggam adalah pengetahuan yang penting karena diperlukan
untuk mengarungi kehidupan suci. Yang banyak, tidak digenggam, karena
tidak bermanfaat untuk mencapai pencerahan (S. V, 437).
Bagaimanapun, untuk menguasai ajaran yang cuma
segenggam itu, orang harus belajar banyak. “Orang yang hanya belajar sedikit
akan menjadi tua seperti sapi jantan. Dagingnya bertambah, tetapi kebijaksanaannya
tak berkembang” (Dh. 152). Dunia
berkembang dengan mempertemukan sains dan agama dalam menciptakan peradaban
yang lebih maju. Dharma yang diajarkan oleh Buddha sejalan dengan semangat
ilmiah, sekurang-kurangnya dalam hal kebebasan berpikir, pengujian atau
pendekatan empiris, dan pijakan kausalitas. Namun tidaklah tepat menyamakan
ajaran Buddha dengan sains. Kebenaran ilmiah bersifat relatif dan tidak
memasuki ruang lingkup batin atau moral. Sedangkan Dharma tak lapuk oleh
waktu, menuntun ke arah kebebasan (A.
III, 285), baik lahir ataupun batin. Karena itu ilmu pengetahuan dan
teknologi semata-mata adalah cara, bukan tujuan; dan ajaran agama yang harus
menjawab apa tujuannya. Agama juga bukan tujuan itu sendiri. Agama Buddha
dipandang sebagai wahana atau kendaraan (Saddharmapundarika-sutra
II) atau sebagai rakit untuk menyeberang, menyelamatkan diri (M. I, 135).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar