Rabu, 09 Januari 2013

Nilai Pendidikan Agama Buddha (Mahathera, Nyanasuryanadi)

Pendidikan adalah penerusan nilai, pengetahuan, kemampuan, si­kap dan tingkah laku; yang dalam arti luas pendidikan merupakan hidup itu sendiri (dan belajar itu seumur hidup), sebagai proses me­nyingkirkan kebodohan dan mendewasakan diri menuju kesempurna­an. Pendefinisian ini mendekati pandangan sosiologis, antropologis dan psikologis. Disiplin keilmuan lain mungkin saja memiliki rumus­an yang lebih khusus. Pendidikan merupakan usaha yang disengaja dan teren­cana untuk meno­long seseorang belajar dan bertanggung­jawab, mengembangkan diri atau mengubah perilaku, sehing­ga ber­manfaat bagi kepentingan individu dan masyara­kat. Dengan memiliki pengetahuan, seseorang memiliki bekal untuk bekerja, dan membantu atau melayani orang lain dengan baik (Wijaya-Mukti, 2003:304).

Tujuan umum pendidikan tak berbeda dengan tujuan pembabaran agama sebagaimana yang di­amanatkan oleh Buddha kepada enam pu­luh orang Arahat. Mereka mengemban misi atas dasar kasih sayang,  demi kebaikan, membawa kesejahteraan, keselamatan dan kebaha­giaan bagi orang ba­nyak (Vin.I.21). Karena men­datang­kan kebaikan ini, memiliki pengeta­huan dan keterampilan merupakan berkah utama (Mangala-sutta). 

Pendidikan agama jelas menolong untuk menghentikan segala ben­­tuk ke­jahatan. “Aku telah ber­henti. Engkau pun berhenti­lah,” seru Buddha kepada Angulimala (M. II. 99). ”Melihat kejahatan sebagai kejahatan, inilah ajaran Dharma yang pertama. Setelah me­lihat ke­jahatan sebagai kejahatan, jauhilah itu, singkirkan itu hingga bersih, bebaskan diri dari hal itu, inilah ajaran Dharma yang ke­dua” (It. 33). 

Idealnya, pendidikan adalah prinsip sarana bagi pertumbuhan manusia, penting unutk tranformasi kematangan peserta didik menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab. Namun demikian saat ini, keduanya perkembangan dan pengembangan dunia, dapat dilihat pada pendidikan formal sebagai permasalahan yang serius. Pembelajaran klasikal telah menjadi bagian yang bersifat rutin dan sering mempertimbangkan sekolah sebagai latihan kesabaran dibanding pembelajaran. 
Kensepsi tujuan pendidikan adalah berbeda secara konsisten dengan prinsip Buddha. Efisiensi praktis mempunyai kedudukan dalam pendidikan Buddha, Buddhism mengemukakan jalan tengah sebagai  aspirasi spiritual mulia tergantung kesehatan fisik dan jaminan materiil bagi masyarakat. Tetapi untuk Buddhism dari sisi praktek pendidikan harus terintegrasi (terpadu); didesain sesuai kebutuhan untuk membawa potensi alami manusia menjadi matang sesuai dengan apa yang diharapakan oleh Buddha. Di atas Semua, kebijakan bidang pendidikan yang dipandu oleh prinsip Buddha bertujuan mesukkan nilai-nilai sebagi imformasi penting. Hal itu diarahkan, tidak hanya ke arah mengembangkan sosial dan ketrampilan komersil, tetapi ke arah pemeliharaan spiritual peserta didik. 

Dalam masyarakat sekuler saat ini, pendidikan secara kelembagaan adalah di fokuskan untuk menyiapakan arah karier peserta didik, di negara Buddhis seperti Sri Lanka tanggung jawab utama untuk menyampaikan prinsip Dhamma kepada siswa secara alami berada pada sekolah Dhamma. Pendidikan Buddhis dalam sekolah Dhamma harus terkait di atas semua, dengan tranformasi karakter pribadi. Karakter pribadi dibentuk oleh nilai-nilai, dan menumbuhkan semangat nilai-nilai inspirasi yang ideal, tugas pertama untuk membentuk pendidik Buddhis adalah menentukan sistem ideal bidang pendidikan mereka. Jika kearah ditemukan ajaran Buddha ideal, ada lima kualitas yang Buddha sering sampaikan berhubungan karakter peserta didik, apakah bhikkhu atau perumah tangga. Lima kualitas adalah keyakinan (saddhä), kemoralan (síla), kedermawanan (cäga), belajar (mendengan) (suta), dan kebijaksanaan (paññä) (A.III.80) (Bodhi, 1997). 

Manusia tidak bebas nilai, tanpa nilai-nilai moral tidak mampu menghayati hidup lebih bail. Ilmu pengatahuan pun tidak bebas nilai, dimana ilmu pengatahuan adalah hasil pemikiran manusia dalam situasi dan kondisi tertentu yang dibangun oleh seperangkat nilai. Menurut pembicaraan dengan Pa­ngeran Abhaya, Buddha me­nyampaikan hanya hal-hal yang be­nar, berdasar, membawa man­­faat atau bertujuan baik, dan sesuai pada waktunya yang tepat. Tidak menjadi soal apakah hal itu menyenangkan atau tidak menyenangkan (M. I, 395). Ilmu pengetahuan yang benar sebagaimana ajaran agama,  dikembangkan berda­sar manfaat atau tujuan yang baik. Ke­man­­faatan tentu juga dipertimbangkan untuk menyeleksi materi pendi­dikan. “Sepatah kata yang ber­manfaat, yang membuat se­seorang men­jadi tenang setelah mendengarnya, adalah lebih baik daripada seribu kata yang tak bermanfaat” (Dh. 100). Buddha mem­bandingkan apa yang telah diajarkan-Nya dengan se­genggam daun sinsapa, sedang kema­ha­tahuan seorang Buddha itu se­banyak daun di hutan. Apa yang se­genggam atau yang sedikit dapat digenggam adalah pengetahuan yang penting karena diper­lukan untuk menga­rungi kehidupan suci. Yang banyak, tidak digenggam, kare­na tidak berman­faat untuk men­capai pencerahan (S. V, 437). 

Bagaimanapun, untuk menguasai ajaran yang cuma segenggam itu, orang ha­rus belajar banyak. “Orang yang hanya belajar sedikit akan menjadi tua seperti sapi jantan. Dagingnya bertambah, tetapi ke­bijaksanaannya tak berkembang” (Dh. 152). Dunia berkembang de­ngan mem­pertemu­kan sains dan agama dalam menciptakan peradab­an yang le­bih maju. Dharma yang diajarkan oleh Buddha sejalan dengan sema­ngat ilmiah, sekurang-kurangnya dalam hal kebebasan berpikir, peng­u­­jian atau pendekatan empiris, dan pijakan kausalitas. Namun tidak­lah te­pat menyamakan ajaran Buddha dengan sains. Kebenaran ilmiah ber­sifat relatif dan tidak memasuki ruang lingkup batin atau mo­ral. Sedangkan Dharma tak lapuk oleh waktu, menuntun ke arah ke­bebasan (A. III, 285), baik lahir ataupun batin. Karena itu ilmu pe­nge­­tahuan dan tekno­logi semata-mata adalah cara, bukan tu­juan; dan ajaran agama yang harus menjawab apa tujuannya. Agama juga bu­kan tujuan itu sendiri. Aga­ma Buddha dipandang sebagai wahana atau kendaraan (Saddhar­ma­pundarika-sutra II) atau sebagai rakit untuk me­nye­be­rang, me­nye­lamatkan di­ri (M. I, 135).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar