Rabu, 09 Januari 2013

Kehidupan Keluarga Yang Saling Melengkapi

Oleh: Mahathera Nyanasuryanadi

Keluarga merupakan sekelompok manusia yang terdiri dari suami, istri, anak-anak (bila ada) yang terikat atau didahului dengan perkawinan. Pembentukan keluarga adalah berawal dari perkawinan. Menurut Sri Dhammananda (1995) dalam A Happy Married Life A Buddhis Perspective dijelaskan bahwa perkawinan persekutuan antara dua individu, yang diperkaya dan ditinggikan jika perkawinan itu membolehkan kepribadian yang bersangkutan tumbuh. Perkawinan hancur berantakan saat sekutu yang satu mencoba “menelan’ sekutu yang lain, atau pun saat satu pihak menuntut kebebasan penuh.
Kehidupan keluarga baik suami maupun istri hendaknya berpikir lebih mementingkan hubungan keluarga daripada kepentingan masing-masing. Hubungan demikian merupakan pertalian dua kepentingan dan pengorbanan dilakukan demi kepentingan kedua belah pihak. Saling pengertianlah rasa aman dan puas dalam perkawinan dapat tercapai. Tak ada jalan pintas kepada kebahagiaan dalam perkewinan. Tak ada dua orang anak manusia yang bisa hidup bersama dalam hubungan emosional yang intim dalam waktu yang lama, tanpa harus berhadaban dengan kesalahpahaman dan perselisihan yang timbul dari waktu ke waktu. Pengertian dan toleransi dibutuhkan untuk mengatasi perasaan cemburu, kemarahan, dan curiga.
Sukses dalam perkawinan lebih didasarkan pada keharmonisan (keserasian) dari pada sekedar mencari pasangan tepat. Kedua belah pihak terus-menerus berusaha menjadi orang yang mempunyai sikap saling menghormati, mencintai, dan memperhatikan anggota keluarga yang lain. Buddha bersabda “demikianlah perumah tangga, bila wanita dan pria keduanya mengharapkan hidup bersama pada kehidupan sekorang dan kehidupan yang akan datang, harus memiliki keyakinan yang sebanding,  sila yang sebanding, kemurahan hati yang sebanding, dan ke­bijaksanaan yang sebanding, maka akan hidup bersama pada kehidupan sekorang dan pada kehidupan yang akan datang . . . Demikianlah di dunia ini, hidup sesuai dengan petunjuk Dhamma, pasangan suami istri yang sepadan kebaikannya, di alam dewa bersuka cita mencapai kebaha­giaan yang di idam-idamkan” (A. II.61).
Berdasarkan sabda Buddha, dapat dirumuskan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir dan batin dari dua orang yang berbeda jenis kelamin, yang hidup bersama untuk selamanya dengan me­laksanakan Dharma (termasuk vinaya). Apa yang disebut kebahagiaan dalam kehidupan sekorang ataupun kehidupan yang akan datang menghendaki adanya keyakinan, sila, kemurahan hati, dan kebijaksanaan yang sebanding. Tujuan dari perkawinan tiada lain adalah saling melengkapi, saling mendukung, dan melindungi, sehingga pasangan yang bersangkutan bersama-sama dapat mencapai kesempumaan yang mendatangkan kebahagiaan. Lembaga perkawinan merupakan tempat untuk me­ngembangkan kekuatan secara sinergis dari dua individu yang membentuk pasangan, membe­baskannya dari kesepian, kekhawatiran, ketakutan, kekurangan dan kelemahan.
Selain tujuan perkawinan untuk membentuk rumah-tangga yang aman, damai, rukun dan sejahtera pada kehidupan sekorang, juga masing-masing individu mengharapkan agar perkawinannya dapat berlanjut hingga pada kehidupan yang berikut setelah dipisahkan oleh kematian pada kehidupan sekorang.
Secara terperinci akan dijelaskan empat hal yang harus sebanding dan sama-sama dimiliki oleh suami-istri merupakan faktor yang dapat melestarikan cita-cita keluarga bahagia, dijelaskan sebagai berikut:
Saddha atau  keyakinan dikatakan demikian apabila "ia percaya pada penerangan agung dan Sang Buddha" (M.53). Namun  keyakinan  ini  harus "masuk akal dan berdasarkan pada pengertian" (M.47), dengan demikian ia diharapkan untuk menyelidiki dan menguji apa yang ia yakini (M.47-49). Sehubungan dengan pengertian atau rumusan tentang keyakinan dalam  Samyutta Nikaya XLVIII.45 dikatakan "seorang yang memiliki pengertian, mendasarkan keyakinannya sesuai dengan pengertian". Jelaslah bahwa saddha didasarkan pada pengertian,  sehingga pengalaman  (praktek), penalaran, dan  pengetahuan  sangat  menentukan tingkat keyakinan dari yang bersangkutan.
Sila  atau  pelaksanaan  latihan  peraturan moral. Sila bukan peraturan lorangan, tetapi ajaran moral dengan tujuan agar umat Buddha menyadari akan akibat yang baik  bila melaksanakannya dan akibat buruk bila tidak melaksanakannya. Seseorang adalah bertanggung-jawab penuh pada setiap perbuatannya. Sehingga menurut Buddha Dhamma, setiap individu harus bertindak dewasa dan bijaksana dalam perilakunya. Pada kontek ini sila yang dimaksudkan adalah Pancasila Buddhis.
Mengenai tujuan dan manfaat dari pelaksanaan sila, Sang Buddha menyatakan bahwa “sila menghasilkan kebebasan dari penyesalan, kebebasan dari penyesalan membawa suka cita… kegiuran… ketenangan… kebahagiaan… pemusatan batin … melihat dan mengetahui segala hal apa adanya… penolakkan dan surutnya minat (pada hal-hal duniawi)… pembebasan sebagai tujuan akhir.. sila membawa berangsur-angsur ke puncak pencapaian” (A.V).
Caga atau kemurahan hati,  kedermawanan, kasih sayang yang dinyatakan dalam bentuk pertolongan melalui perbuatan atau kata-kata, serta tanpa ada perasaan bermusuhan dan iri hati, agar mahluk lain dapat hidup dengan tenang, damai dan bahagia. Mengembangkan caga dalam batin harus sering mengembangkan kasih sayangnya dengan menyatakan dalam batin "semoga semua mahluk berbahagia,  bebas dan penderitaan, ... kebencian, ...  kesakitan, ...  dan   kesukaran.  Semoga   mereka dapat  mempertahankan  kebahagiaan mereka sendiri". Ia selalu memiliki kecenderungan batin untuk membahagiakan orang lain, pada waktu ia menolong atau membantu orang lain ia akan merasa gembira dan senang karena melihat orang yang ditolongnya bahagia.
Panna atau kebijaksanan adalah  sebagai  hasil  dari pengalaman, penalaran, dari pengetahuan pribadi. Kebijaksanaan merupakan dasar dari perkembangan mental, moral, spiritual, dan  intelektual seseorang. Panna muncul bukan hanya didasarkan pada teori tetapi yang paling penting adalah pengalaman dalam pengamalan ajaran Sang Buddha. Secara ideal, yang dimaksudkan dengan panna adalah pengertian benar dari penembusan  tentang  anicca (ketidak kekalan), dukkha (sulit mempertahankan sesuatu karena sesuatu itu tidak kekal), dan anatta (tanpa inti atau jiwa yang kekal)  sampai  mencapai  penerangan sempurna, dengan demikian ia mencapai kesucian serta mengetahui bahwa Tuhan Yang Maha Esa adalah ada, mutlak, dan tak dapat digambarkan atau   dipersamakan dengan apa pun.
Memiliki ke empat factor kehidupan sebanding, sepasang suami istri mudah menyeberangi lautan hidup berkeluarga yang penuh dengan suka dan duka serta tantangan. Kebijakan yang sebanding, maka suami istri akan hidup dengan saling mengerti sehingga masalah rumah tangga yang sedang dihadapi dapat dipecahkan bersama. Namun untuk menemukan pasangan yang serasi se ia dan sekata adalah sukar sekali, temyata banyak pasangan suami-istri memiliki sifat atau perangai yang tak sama. Dengan kata lain perangai pasangan suami istri adalah berlainan satu dengan lainnya.
Terdapat empat macam pasangan perkawinan, yaitu: (1) raksasa dan raksesi, suami istri meru­pakan pasangan yang hina dan berkelakuan buruk; (2) raksasa dan dewi, suami berkelakuan buruk sedang istri berbudi luhur atau berketakuan baik; (3) dewa dan raksesi, suami yang berkelakuan baik hidup dengan istri yang buruk laku; (4) dewa dan dewi, pasangan yang sama-sama mulia karena berkelakuan baik. Suduh tentu pcrkawinan dewa dan dewi yang berbahagia, yang dipuji oleh Buddha (A.II.57-58). Perkawinan yang dipertimbangkan matang-matang, direncanakan dan diper­siapkan dengan baik, diharapkan membuahkan bentuk perkawinan dewa-dewi.
Buddha mengelompokkan para istri menurut wataknya. Terdapat tujuh macam istri yakni (1) is­tri yang mirip pembunuh, yang jahat pikirannya, kejam, melalaikan suami atau scrong; (2) istri yang menyerupai perampok, yang mencuri atau menghamburkan pendapatan suami; (3) istri gula-gula, yang rakus, penggunjing, cengeng dan membuat suami malas (4) istri yang menyerupai seorang ibu, yang penuh kasih, merawat dan menjaga suaminya; (5) istri yang menyerupai saudara, seperti adik yang memperlakukan kakaknya dengan hormat; (6) istri yang menyerupai teman, kekasih pujaan yang penuh cinta; (7) istri yang mirip pelayan, yang patuh, memikul beban dengan pasrah, bahkan tabah menghadapi amarah suami. Tentu saja istri jenis pembunuh, perampok, dan gula-gula itu tidak terhormat, tidak bermoral, sehingga membawa penderitaan (A.IV. 91). Gambaran mengenai istri, sebaliknya pula dapat diberlakukan pada pria.
Karakteristik yang tak terbina baik akan merugikan suaminya, bertingkah laku buruk, bermalas-malas, menghindari suaminya di tempat tidur, patuh pada kata-kata orang lain, menghambur-hamburkan kekayaan keluarga,  senang  bergaul  intim  dengan  tetangga namun tidak menghiraukan, menghormati suami, senang mendatangi tempat-tempat umum tanpa disertai suami, atau mendatangi rumah kenalan atau handai taulan (sendiri), memakai perhiasan pemberian orang lain, senang bermabuk-mabukan, dan berdiri di pintu memandangi orang lain (Jt.V).
    Sumber lain mengisahkan, ketika seorang suami menderita sakit keras, istrinya menghibur suaminya dengan mengatakan bahwa mati dengan hati gundah akan berakibat tidak baik, dan bahwa bila ia meninggal, si istri mampu memelihara anak-anak mereka dan meneruskan penghidupan keluarga. Ia menyatakan bahwa ia tak akan menikah lagi, dan akan meningkatkan keyakinan terhadap Sang Triratna, menjalankan sila, bermeditasi… dan menjalankan rumah-tangga sesuai ajaran Sang Buddha. Ternyata kemudian sang  suami  sembuh kembali; dan ketika dilaporkannya peristiwa itu kepada Sang Buddha, beliau bersabda:
"... Sungguh beruntung engkau, orang baik,  engkau mempunyai istri yang baik,  menasihatimu, menjadi gurumu, dan batinnya penuh kasih sayang serta hasrat yang  tulus untuk kesejahteraanmu..." (A.III).
     Beberapa simpulan (1) melihat   bahwa  keakraban yang   mendalam dalam hubungan suami-istri berdasarkan pada penghayatan hidup yang berakar pada penghayatan moral. (2) Menempuh kehidupan rumah-tangga nilai-nilai moral dan spiritual tidak   boleh diletakkan   dibelakang pertimbangan seksual atau ekonomis. (3) Sekalipun  suami  merupakan  kepala  dan  tulang-punggung keluarga, istri pun harus sanggup melakukan, dan memainkan peranan sosialnya sebagai  istri  yang baik,  yang idealnya telah diuraikan di atas.
Kepada gadis-gadis yang ingin berkeluarga, Sang Buddha mengajarkan kewajiban seorang istri yaitu:
1.      istri harus bangun lebih dahulu dari suami; dengan sukarela  menolong. suami;  bertingkah laku menyenangkan dan berbicara secara bersahabat;
2.      menghormati orang-orang  yang  dihormati oleh suami, seperti orang tua dan orang-orang suci, menerimanya kalau mereka datang ke rumah;
3.      terampil   dan cekatan dalam   pekerjaan   suami, mempelajari seluk-beluknya, dan mampu mengatur, melaksanakan dan menyelesaikannya;
4.      mampu mengolah rumah-tangga beserta seluruh penghuninya, agar kebutuhan masing-masing terpenuhi atau setiap orang mendapat sesuai dengan bagiannya;
5.      dapat mengamankan harta kekayaan dan pendapatan suami, dan tidak berbuat seperti perampok, pencuri atau penggelap. (A.III)
     Sabda Sang Buddha: "... Para istri yang memiliki sifat-sifat yang talah disebutkan akan memiliki kekuasaan dan keberhasilan di dunia ini, dan dunia berada dalam genggaman tangannya." (A.269)
Mencermati uraian yang talah dijelaskan nampaknya cita-cita sosial Buddhis mengutamakan pria di atas wanita, bahwa pria lebih tinggi daripada wanita, dan dengan demikian menolak persamaan antara pria  dan  wanita. Sesungguhnya  yang  dipersoalkan tersebut bukanlah siapa yang lebih tinggi atau lebih randah, melainkan peran masing-masing dalam keluarga. Bahwa suami  adalah kepala  atau pemimpin  keluarga jelas terlihat dalam masyarakat Buddhis maupun masyarakat lain. Namun masing-masing  pihak tidak lepas  dari hak, kewajiban dan tanggung-jawab masing-masing. Seorang istri yang baik disebut  "devi", dan suami yang baik disebut "deva", dan bila  mereka berdua memiliki panna (kebijaksanaan) yang sebanding seperti yang telah diuraikan di atas, maka niscaya bagi mereka tidak akan timbul perasaan bahwa suami lebih tinggi kedudukannya atau sebaliknya. Sebab dengan adanya panna maka saling mengerti dapat terbina dan keluarga yang rukun dapat dibentuk.
Mengenai suami, secara umum Sang Buddha mengatakan bahwa seorang yang menyokong orang tua, istri dan anak, bekerja untuk kebaikan keluarga dan masyarakat luas, dapat disebut sebagai "seorang yang baik dan berharga". (S.I.228; A.IV.224)
Kitab Jataka disebutkan tentang delapan hal yang menyebabkan suami dibenci oleh istrinya sendiri yaitu: miskin, sakit-sakitan, tua, bermabuk-mabuk, bodoh, kurang perhatian, terlalu sibuk, dan menghambur-hamburkan uang. (Jt.V.433).
Secara positif para suami dianjurkan untuk memelih arah istri mereka dengan cara bersikap manis, menghormatinya, tidak membencinya, setia kepadanya, memberikan wewenang kepadanya, menghadiahkan perhiasan dan lain-lain kepadanya; (D.III.l90)
     Selanjutnya, suami harus berbicara ramah kepada istrinya;  membantunya dalam segala pekerjaan;  membawanya mengunjungi upacara dan pesta-pesta; mendorongnya untuk melakukan upacara-upacara keagamaan; dan menasihatinya dalam hal kebaikkan. (Kh.138).
    Mempertahankan keutuhan rumah-tangga, sangat perlu adanya faktor saling percaya mempercayai, karena apabila hal ini berkurang maka titik-titik permulaan keretakan akan muncul dalam bentuk curiga mencurigai. Mencurigai adalah sifat mental yang kurang baik, yang biasanya muncul karena kelemahannya sendiri sebab ketidaktahuan atau kurang mengetahui persoalan yang dihadapi. Kemampuan yang kurang ini, kemudian mendengar cerita orang lain tentang keadaan istri atau suami atau mungkin karena melihat prilaku suami atau istri sendiri yang mengakibatkan pikiran buruk terjadi.
Sang Buddha menjelaskan sebab musabab dari curiga dibahas dalam Anguttara Nikaya, sebagai berikut: (1) mencurigai  seseorang  karena  cinta  kepadanya (chandagati), (2) mencurigai seseorang karena tidak   senang atau membenci orang itu (dosagati), (3) mencurigai  seseorang karena kebodohan atau ketidaktahuan mengenai orang itu (mohagati), (4) mencurigai seseorang karena merasa takut kepada orang itu (bhayagati) (A.II).
Menurut Ajaran Buddha, suatu keluarga seorang suami boleh  mengharapkan hal-hal berikut dari isterinya: cinta, perhatian, kewajiban keluarga, kesetiaan, pengurusan anak, tabungan, penyediaan makanan, penghiburan saat ia lagi kecewa, kemanisan sikap.

Sebagai balasannya, seorang isteri berhak mendapatkan hal-hal berikut dari suaminya: kelembutan, rasa hormat, kesempatan bermasyarakat, keamanan, keadilan, kesetiaan, kejujuran, persahabatan, dukungan moral,

     Selain aspek-aspek emosional dan psikologis, pasangan suami-isteri mengatur keadaan hidup sehari-hari, keuangan rumah-tangga, dan kewajiban-kewajiban sosial. Tukar pikiran antara suami dan isteri mengenai semua persoalan rumah tangga akan membantu menciptakan atmosfir rumah-tangga yang penuh pengertian dan saling mempercayai, memecahkan persoalan apa saja yang mungkin tumbuh.
      Menjalani hidup dengan apa adanya dan puas dengan apa yang ada, bisa dijadikan sebagai salah satu alternatif jawaban, di samping: (1) Tidak membuat perbandingan dan perhitungan dengan orang lain. (2) Tidak menyesali diri dan menyalahkan orang lain. (3) Tidak mencelakai orang lain dan mencari-cari alasan demi pembenaran diri. (4) Tidak tamak, tidak dengki dan iri. (5) Tidak rendah diri dan tidak mudah berputus asa, caranya  dengan berfikir positif tentang diri sendiri dengan langkah-langkah (a) Tanamkan pada diri sendiri bahwa diri sendiri orang yang paling bahagia di dunia ini. (b) Tanamkan pada diri sendiri bahwa diri sendiri orang yang sempurna. (c) Tanamkan pada diri sendiri bahwa diri sendiri orang yang berkecukupan. (d) Tanamkan juga bahwa kita "the best person in this world".  (6) Tidak mempunyai prasangka dan berhati lurus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar